Dana BOS Tahap I Rp9,8 Triliun, Cair

Dana BOS Tahap I Rp9,8 Triliun, Cair

JAKARTA – Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler tahap I senilai Rp 9,8 triliun telah cair pada Februari ini. Bahkan telah disalurkan ke ratusan ribu sekolah.

Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan Pemerintah telah menyalurkan dana BOS reguler tahap I ke 136.579 sekolah pada Februari 2020. Totalnya senilai Rp9,8 triliun. Pencairan dan penyaluran dipercepat sesuai dengan komitmen bersama Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri.

“Penyaluran Dana BOS ke sekolah-sekolah pada bulan Februari 2020 ini lebih cepat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang rata-rata baru masuk ke rekening sekolah pada bulan Maret dan April,” kata Nufransa, Senin (17/2).

Proses penyaluran yang lebih cepat ke rekening sekolah akan dapat membuat kegiatan operasional sekolah bisa lebih cepat terselenggara. Sekolah dapat lebih cepat dalam menyampaikan laporan tanpa menunggu sekolah lain meskipun dalam wilayah yang sama.

“Penyaluran langsung ke rekening sekolah juga tetap ditatausahakan dalam APBD Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga sisi akuntabilitas tetap terjaga,” katanya.

Penyaluran dana BOS secara langsung dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Sekolah ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 9/PMK.07/2020 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 48/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan DAK Nonfisik.

Alokasi dana BOS reguler tahap I ini sebesar 30 persen untuk masing-masing sekolah yang telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Untuk Tahap II dan III akan disalurkan sebesar 40 persen dan 30 persen. Dengan skema penyaluran terbaru ini, maka sebesar 70 persen dana BOS nantinya dapat langsung diterima sekolah pada semester I.

Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengkritisi 50 persen dana BOS digunakan untuk gaji guru honorer. Hal ini menurutnya sangat kontradiktif dengan peraturan yang ada.

Selama ini pemerintah berjanji untuk mengangkat guru honorer sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Namun yang terjadi malah dana BOS digunakan untuk menggaji guru honorer.

“Dana BOS itu sangat mepet untuk operasional sekolah. Harusnya honorer kan diberikan dari pos lain, atau yang lebih strategis statusnya harus diperjelas. Kalau operasional dikurangi banyak, maka itu akan mengundang pungli,” katanya.

Skema maksimal 50 persen untuk gaji guru ini, menurutnya berpotensi diskriminatif. Sebab ada prasyarat guru honorer tersebut harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Pada kenyataannya, sangat banyak guru honorer, yang tak punya NUPTK.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebaiknya segera merevisi Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Dana BOS untuk menghindari diskriminasi.

“Dengan syarat NUPTK ini, banyak guru honorer yang tidak bisa mengakses dana BOS. Itulah kenapa saya katakan kebijakan ini hanya gertak sambal dan tidak strategis sama sekali, dan NUPTK ini akan menimbulkan masalah baru,” ucapnya.

Sumber: