‘TAHUN 2023, RESOLUSI ‘TAMBANG HIJAU’ UNTUK KEBERLANJUTAN INDONESIA LEBIH BAIK’
Tahun baru, sebuah moment yang selalu ditunggu. Pergantian tahun yang ditandai dengan acara kumpul keluarga, kerabat dan teman sejawat dengan berbagai sajian hidangan hangat. Barbeque, merupakan salah satu menu yang wajib tersedia sambil mengisi obrolan santai. Dari lagunya Marshmello sampai dengan lagu ter-hits yang viral di seluruh jagad seantero. Tak ketinggalan, tent foto bareng teman dengan senyum termanis selalu menjadi akhir dari setiap moment kebersamaan. Sama seperti tahun sebelumnya sedari sore, berbagai bentuk ekspresi senyum manis menghiasi layar Whats App dengan berbagai persiapan penyambutan tahun baru yang segera datang.
‘Jadi, apa resolusi kamu?’ begitu kata seorang teman. Resolusi mungkin bagi sebagian orang adalah hal terpenting sebagai sebuah capaian dari langkah kita. Resolusi juga merupakan sebuah keputusan besar yang dapat diambil sebagai bentuk pembaruan menyongsong tahun yang akan datang. Bisa juga sebagai bentuk proses perbaikan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tentu saja bukan hal yang mudah, apalagi jika kita mengingat sebagai diri yang selalu memiliki keterkaitan erat dengan ekosistem biotik yang ada di dunia. Tentu saja kawan, bumi kita hanya satu, dan bertambah tahun akan bertambah populasi, bertambah juga untuk memenuhi kebutuhan di kita sebagai manusia yang menempati bumi ini. Agar naik level, tentu konsistensi sebagai diri harus lebih inspiratif, sehingga bumi kita tetap terjaga meski bertambah secara usianya.
Salah satu kawasan yang terpenting untuk tetap dijaga dalam eko-sistensinya adalah area pertambangan, bukan hanya pada lahan areanya, namun bukan hanya pada ’lokasi pertambangannya’ melainkan juga lokasi yang ada di sekitar operasional pertambangan dimana masyarakat di sekitar tinggal. Sesuai dengan Kepmen 1827 Th 2018, kajian hidrologi dan geohidrologi dari dampak pertambangan menjadi hal urgen yang harus dipertimbangkan, sekaligus teknis bagaimana reklamasi dilakukan. Tak hanya reklamasi tentunya, namun juga ’resolusi hijau’ di sekitar area operasional dimana masyarakat tinggal menjadi penting.
Tahun 2020, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sebanyak 3.092 lubang tambang yang belum di reklamasi di Indonesia. Kerusakan inilah yang kemudian diantisipasi dengan regulasi yang mewajibkan reklamasi bagi seluruh perusahaan tambang. Peraturan reklamasi tambang tertuang dalam Pasal 161 B ayat (1) UU No. 3 Tahun 2020. Undang-undang ini ’mewajibkan seluruh perusahaan menutup lubang-lubang bekas tambang yang tentu saja dapat mencegah timbulnya korban jiwa’.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memberikan catatan bahwa sepanjang tahun 2021, seluas 8.539 ha lahan bekas tambang berhasil direklamasi. Reklamasi diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi lingkungan bekas tambang yang biasanya menjadi lahan tidak produktif menjadi lebih produktif, baik menjadi lahan pertanian maupun kehutanan, hingga menjadi sarana edukasi dan wisata.
Disrupsi Perubahan Iklim dan Resolusi Hijau di Sektor Tambang
Kalimantan Selatan, merupakan salah satu provinsi yang memiliki nilai cadangan batubara 3,67 miliar ton (https://databoks.katadata.co.id/2022). Nilai yang sangat fantastis mengingat kekayaan yang luar biasa atasa sumber daya mineral. Sumber kekayaan ini tentunya selain berkah juga sekaligus menjadi tantangan yang cukup besar dalam tata kelola lingkungan yang baik, dengan jumlah angka populasi yang terus berkembang sebanyak 4 122 576,00 (2021) dari 4 073 584,00 (2020) atau naik sekitar 4 899 2,00 dalam waktu 1 tahun, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kalimantan Selatan sebesar 1,13%. Padahal jumlah luasan lahan Kalimantan Selatan hanya mencapai 38 744,23 ha. Ini artinya, jumlah kepadatan penduduk di Kalimantan Selatan adalah 105 jiwa per kilometer persegi (km²) (BPS Kalimantan Selatan, 2021). Di sisi lain, Kalimantan Selatan juga memiliki keistimewaan dengan mayoritas 28,32% jumlah penduduknya merupakan generasi Z yang lahir pada 1997-2012, dan sebanyak 26,59% merupakan generasi milenial yang lahir pada 1981-1996.
Berdasarkan data ini, tentu menarik ketika Gubernur Kalimantan mencetuskan Perda Provinsi Kalsel No.7/2008, dimana bertujuan menggerakkan seluruh komponen rakyat di Kalsel untuk peduli lingkungan melalui penanaman pohon. Tentu menjadi contoh yang baik mengingat di Provinsi ini memiliki produksi tambang dengan nilai kontribusi sebesar 1,12% dari 3,47% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (BPS Kalimatan Selatan, 2021). Sebagai bagian utama dari penopang ekonomi tentu, resolusi dari masyarakatnya sangat dibutuhkan. Tidak hanya dalam mendorong resolusi hijau yang menjadi prioritas namun juga ’resolusi’ yang mengarah pada nilai priotas ekonomi dearah diharapkan mengalami peningkatan.
Resolusi ’hijau’ adalah bagian penting dalam memulai 2023, inilah mengapa kemudian sebagai bagian dari usaha pertambanggan, proses reklamasi diperlukan melalui penataan dan pembentukan topografi dengan standar lereng lahan rehabilitasi, pengembalian tanah lapisan atas, pengendalian erosi, pembangunan drainase, pembangunan jalan untuk revegetasi, penghijauan, pemeliharaan tanaman, dan pemantauan keberhasilan. Tujuan upaya ini tak lain adalah 1) mengembalikan vegetasi alami dan ekosistem area pertambangan, 2) mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah di area operasional pertambangan, dan khusus di area pemukiman masyarakat yang ada di sekitar tambang juga akan bermanfaat dalam kerangka 3) pengurangan peningkatan suhu udara perkotaan, pencemaran udara (CO2, Oksida Nitrogen, Ozon, Belerang dan Debu), 4) mencegah terjadinya banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut hingga 5) mencegah peningkatan kandungan logam berat dalam air dan tentu saja 6) mengendalikan perubahan iklim.
Tentu saja resolusi hijau tak bisa ditunda lagi. Tahun 2023, ini menjadi awal yang baik, bagi kita semua untuk ikut andil dalam memberikan dampak positif, mengingat ada banyak dampak perubahan iklim yang terjadi, mulai dari anomali curah hujan, meningkatnya bencana alam, terutama banjir di area Kalimantan Selatan, hingga resiko gagal panen, seperti yang dialami para petani di sekitar lingkar tambang. Belum lagi efek domino dari sisi ekonomi, sosial, dan krisis energi, ditengah ’disrupsi perubahan iklim’ dari sisi penambahan angka mal nutrisi, stunting dan jumlah penyakit.
Di sinilah arti pentingnya ’resolusi hijau’ di sektor pertambangan di tengah akselerasi ’revolusi industri 4.0’ dengan percepatan teknologi artifisial, mulai dari robotik, big data, hingga Internet of Things (IoT) dan sekaligus ’revolusi biologi’ dari dampak disrupsi teknologi dengan mengedepankan reskilling, upskilling dan newskilling sekaligus pada sumber daya yang ada di sektor pertambangan.
Pertama, resolusi hijau di Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan Selatan dengan cadangan industri batubara yang mumpuni, harus bisa mengarah pada green and blue economy. Artinya, harus terjadi sharing economy dengan new normal bio-economy, dimana proses dan pola penghidupan masyarakat di sekitar area pertambangan mulai berubah seiring dengan model pertanian dan cara bertani yang menyesuaikan dengan kondisi lahan.
Kedua, Green Economy Initiative (GEI), dimana mendeskripsikan bagaimana green and blue economy sebagai peningkatan kualitas kehidupan manusia dan ekuitas sosial, artinya dengan model inklusifitas penghijauan yang dilakukan di pertambangan secara signifikan akan mengurangi dampak lingkungan dan kelangkaan ekologi. Tentu saja, tak hanya di area operasional tambang, tetapi juga di sekitar masyarakat yang ’tinggal dan bermukim’ di sekitar pertambangan.
Ketiga, New Normal Bio-Economy. Langkah menjaga Sumber Daya Alam (SDA), tidak bisa dikatakan cukup atau berhenti pada menjaga keberlanjutannya, melainkan harus ada regenerasi. Analoginya adalah ’perbedaan antara membiarkan pohon tidak disentuh dan menanam lebih banyak pohon’. New Normal Bio-Economy ini memiliki ciri khas ‘sirkular-berbagi-regeneratif’ menumbuhkan keanekaragaman hayati, meningkatkan ’kepedulian masyarakat’ akan pentingnya ’penghijauan’ hingga mengonsumsi makanan sehat berbasis biodiversitas. Sehinga biodiversitas yang menjadi program diberbagai sektor pertambangan memiliki added value berupa ’penyediaan, pengaturan, kebudayaan dan pendukung’. Apalagi Indonesia merupakan mega biodiversitas, dengan sekitar 90% flora dunia dapat ditemui, dan 940 jenis berkhasiat sebagai obat.
Ekonomi berbasis biodiversitas di sektor pertambangan, harapannya bisa menjadi pondasi sember ekonomi di masa mendatang melalui pembangunan ekosistem yang melibatkan SDA, modal produsen, dan SDM di sekitar area operasional pertambangan.
Sumber: