HARI ANAK NASIONAL: MENJAGA GENERASI DENGAN EDUKASI MELALUI CORPORATE RESPONSIBILITY
Mungkin ini yang dinamakan sebuah kebetulan, kebetulan yang tentu membawa manfaat sekaligus keuntungan. Pagi ini, seperti biasa karena hari Sabtu dan weekend tentu menjadi hari yang dinati para pekerja, tak hanya di Ibu Kota tapi juga diseluruh penjuru dunia. Weekend adalah saatnya quality time, bersantai sejenak dari rutinitas atau oleh teman-teman biasanya dijuluki sebagai hari ‘rebahan’ sambil menikmati aneka ‘camilan’. Berbeda dengan Sabtu pagi ini, selepas jogging di daerah Karet Tengsin 4, Jakarta Pusat, melewati berbagai aktivitas riuh masyarakat, aku pun kembali menekuri aktivitas, mengeluarkan laptop dari laci dan mulai mempersiapkan diri. Tentu saja, untuk hari istimewa, Sabtu, 23 Juli 2022.
Webinar, ini kegiatan yang coba aku siapkan bersama tim kecil di Sekolah Kehidupan yang beranggotakan lebih dari 250 pegiat CSR. Sekolah yang isinya adalah para pembelajar negeri, yang santun dan penuh empati. Sekolah dimana ‘siswa’nya sebagian besar adalah para pemberani, berhadapan dengan berbagai gejolak hidup ditengah masyarakat yang dinamis. Sekolah yang juga menjadi wadah para pegiat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dari berbagai latar belakang pekerjaan dan organisasi yang dinaungi. Tujuannya hanya satu, bertemu, berbagi, bersinergi dan bersilaturahmi. Akhirnya dengan berbagai persiapan, webinar ini dapat dimulai dengan berbagai cerita seru, menarik, menggelitik bahkan penuh strategi saat menghadapi berbagai tantangan konflik.
Tepat di hari ini, 23 Juli 2022, hari yang sama dengan penyelenggaraan webinar, adalah hari dimana dinobatkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Bukan tanpa sejarah panjang, HAN ada di Indonesia adalah perjuangan panjang, yang telah dimulai sejak tahun 1951 oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang berdiri pada 22 Desember 1928, bersamaan dengan tahun Sumpah Pemuda. Pertama kali digelar adalah event Pekan Anak-anak, dimana dijelaskan oleh Majalah Rona (1988) yang disambut langsung oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka pada 1952 dan oleh presiden Soekarno pada 6 Juni kemudian disepakati bersama Kowani menjadi hari anak nasional. Melansir dari tirto.id, dikarenakan rezim berganti, maka kebijakan ini juga berganti dengan perubahan HAN yang diputuskan oleh presiden Soeharto melalui Keppres No.44/1984 dimana memutuskan bahwa Hari Anak Nasional (HAN) diperingati setiap tanggal 23 Juli, bertepatan dengan pengesahan UU tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979. Inilah mengapa kemudian HAN diperingati pada setiap 23 Juli.
Pada situs Kemenpppa RI, kali ini HAN membawa tema ‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’ dan tentu topik ini telah menjadi campaign sejak 2020. Pandemi Covid 19, ini yang kemudian memunculkan fenomena tersendiri bagi tumbuh kembang anak. Perubahan sistem belajar-mengajar dan penggunaan media sosial menjadi faktor pemicu dampak tumbuh kembang riskan, seperti sulitnya beradaptasi pada saat pembelajaran luring dibuka kembali, atau justru kesulitan konsentrasi belajar, rasa jenuh, stress hingga kesulitan guru dalam mengelola pembelajaran jarak jauh bahkan orang tua yang tidak senantiasa bisa mendampingi sang anak. Tak hanya itu, dampak Covid 19 juga membawa anak karena dampak angka perceraian yang tinggi oleh orang tuanya. Berdasarkan data Kompas.com, angka perceraian di Indonesia meningkat pada pertengahan 2020 dan terjadi diberbagai wilayah Indonesia, Merangin-Jambi (479 kasus), Semarang (1.586 kasus), Tangerang Selatan (naik 10%), Sulsel (58 kasus), Surabaya (1.982 kasus), dan di Katingan (Kalteng) naik 20% (14-26/kasus/bulan). Anak, dalam hal inilah menjadi terhambat dalam proses tumbuh kembang terutama dalam proses psikologinya. Di sisi lain, menurut paudpedia.kemdikbud.go.id, tumbuh kembang anak juga masih menghadapi tantangan stunting pada angka 24,4% (prevalensi diatas tandar WHO 37%) pada 2022. Ini masih belum termasuk jumlah anak dengan penyandang disabilitas yang mencapai 5,2 juta (merdeka.com) di seluruh Indonesia yang masih membutuhkan ‘ruang dan fasilitas yang ramah serta accessible’ buat mereka.
Kembali pada penyelenggaraan webinar dimana kebetulan juga pada hari yang sama dengan HAN. Sekilas sepertinya tidak ada kaitannya dalam webinar yang pembahasan utamanya adalah ‘Strategi Jitu Implementasi CSR ala Sekolah Kehidupan’. Akan tetapi jika ditilik lebih jauh, topik ini justru sangat terkait dengan HAN. Corporate Social Responsibility atau CSR merupakan aktivitas bisnis pada perusahaan yang tentunya harus berkomitmen, bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan sekitarnya termasuk masyarakat dan kelompok kepentingan dalam peningkatan dampak positif yang sustainable atau berkelanjutan.
Ada banyak interpretasi tentang CSR, diantaranya adalah UU No.40 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan, bahwa CSR merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas masyarakat dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan (perusahaan), masyarakat setempat, maupun masyarakat umum (yang ada di sekitarnya). Standard ISO 26000 yang diikuti lebih dari 160 negara global, justru lebih jauh mendefinisikan sebagai ‘tanggungjawab organisasi (baik perusahaan maupun non perusahaan) atas dampak keputusan dan aktivitas terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, dengan cara transparan, beretika, kontribustif dan berkelanjutan’. ISO 26000 sendiri memiliki beberapa ruang lingkup, mulai dari; 1) tata Kelola organisasi, 2) Hak Azasi Manusia (HAM), 3) praktik tenaga kerja, 4) operasi bisnis yang adil, 5) isu konsumen, 6) lingkungan hidup dan 7) pelibatan & pengembangan komunitas (yang ada disekitar perusahaan).
Jika difahami dari pengertian di atas maka jelas, ‘anak-anak (diffable dan non diffable)’ yang menjadi bagian dari struktur masyarakat tidak bisa kita abaikan dalam membangun pola pendekatan strategi implementasi CSR. Pendekatan yang kita gunakan dalam hal ini adalah mengacu pada apa dan bagaimana kebutuhan anak bisa terpenuhi melalui CSR. Konteks masyarakat hari ini sangat penting dipetakan, bagaimana kemudian ‘anak’ turut serta menjadi subyek penerima benefit dari adanya operasional perusahaan.
Pertama, assessment. Penting melakukan identifikasi, dengan menggunakan gender based analysis dalam melihat struktur kebutuhan masyarakat baik secara sex ratio, usia, pendidikan, hingga latar belakang subyek. Gender based analysis ini tak hanya melihat subyek hanya dalam sudut pandang ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ namun juga kelompok rentan lainnya, manula, penyandang disabilitas hingga kelompok ‘anak’ yang harus menerima benefit (tangible atau non tangible).
Kedua, engage. Engage merupakan salah satu strategi yang juga sering dikatakan sebagai elemen dasar dalam membangun pola pendekatan CSR, oleh beberapa coach CSR seperti; Basyori Saini (Codiac.id) dan Ditto Santoso (Majalah CSR.id) yang juga menjadi bagian dari pengurus Sekolah Kehidupan tempat pembelajar CSR bernaung.
Engage, pada prinsipnya adalah membangun kedekatan (personal, emosional, tactical) dalam implementasi CSR. Dalam strategi marketing, engage digunakan sebagai alat untuk pangsa pasar dan komitmen yang terbangun antara produsen dan konsumen dalam jangka panjang. Pada dunia media sosial, engage lebih bermakna pada keterikatan public dalam citra diri dengan apa yang digunakan/dikenakan, like dan mengukur komentar yang ada dalam digital business. Strategi CSR dengan engage adalah bagaimana kita kemudian menempatkan ‘anak’ menjadi bagian subyek yang harus dilibatkan. Anak bisa menjadi connecting the dots, untuk membangun tujuan yang lebih besar pada visi yang ingin dicapai dalam proses membangun keberlanjutan. Misalnya, bagaimana program yang kita susun ini bermanfaat untuk mereka melalui edukasi positif. Contohnya adalah membangun skill education melalui bakat dan minat anak yang disinergikan dengan konteks lokal masyarakat di sekitar perusahaan.
Ketiga, collaborate. Kolaborasi menjadi kata kunci dalam mencapai tujuan. Implementasi strategi CSR tentu tak lepas dari kita membangun partnerships dengan berbagai pihak dan kelompok sosial masyarakat. Dimana tempat anak? Anak ada pada bagian ‘beneficiaries’ yang tumbuh kembangnya bisa kita bantu dengan membangun jejaring dan kolaborasi bersama ‘dunia’ dan ‘lingkungan’ yang ada di sekitar anak. Sehingga, resiko dari impak negatif seperti persoalan stunting, keberlanjutan strata pendidikan, peningkatan kapasitas dan skill dapat kita lakukan bersama dengan berbagai pihak (pemerintah, NGo, akademisi, masyarakat) untuk ikut serta mendorong kemajuan bagi anak.
Keempat, positive impact. Dampak positif ini yang harus kita ciptakan bersama. Edukasi menjadi kunci utama dalam proses membangun dan menciptakan dampak positif. Tentu, tantangan kita adalah tak mudah menciptakan nilai positif melalui sebuah program. Namun, jika program ini telah kita ukur dan kita selaraskan, maka impact ini akan terjadi. Tidak dalam waktu dekat, tetapi investasi ini akan sangat penting dan bernilai bagi keberlanjutan perusahaan dan juga masyarakat, terutama dalam ‘investasi generasi’ yang lebih edukatif di masa mendatang.
Kelima, create value. Nilai menjadi elemen utama dalam membangun keberlanjutan, bagi semua pihak, pun terhadap anak. ISO 26000 dengan bagian elemennya adalah HAM, maka ‘anak’ menjadi subyek yang harus diutamakan. UU RI No.39/1999 tentang HAM menyebutkan, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks perlindungan anak, maka anak harus dijamin, dilindungi agar dapat hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara optimal serta mendapatkan perlindungan dari berbagai kekerasan dan diskriminasi. UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, anak memiliki hak: 1) hak hidup, 2) hak tumbuh-kembang, 3) hak perlindungan dan hak partisipasi.
Elemen create value dalam hal ini adalah bagaimana CSR dalam strateginya mampu menciptakan nilai ‘kesadaran’ bagi banyak pihak secara positif, sebagai dukungan dalam bentuk penghormatan, perlindungan dan konteks pemenuhan hak anak melalui berbagai program edukatif. Program edukatif ini dapat kita sinergikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, Kesehatan, pendapatan riil & kemandirian ekonomi, sosial budaya, lingkungan, kelembagaan komunitas dan infrsatruktur. Ke delapan aspek ini diharapkan mampu mendorong penguatan strategi implementasi CSR melalui pendekatan yang lebih ‘edukatif, adaptif’ sehingga ‘hak anak’ terpenuhi dan ia mampu ‘resilience’ di masa mendatang, meski program CSR tak lagi bertandang.
Sumber: