‘CITAYAM FASHION WEEK: KERINDUAN INKLUSIFITAS DI RUANG PUBLIK’

‘CITAYAM FASHION WEEK: KERINDUAN INKLUSIFITAS DI RUANG PUBLIK’

Suara alunan lagu ‘back to the bone’ begitu terdengar jelas. Meski hanya diiringi gitar dan 1 sound system, terdengar begitu syahdu. Sang penyanyi jalanan begitu bersemangat menyanyikan lagu yang tenar di tahun 2019 lalu dalam album Flying Solo milik Pamungkas. Sontak jalanan lampu merah, perempatan jalan Laksda Adi Sucipto, Papringan, Catur Tunggal, Depok ini menjadi ramai suara deru nyanyian beradu dengan mesin motor dan mobil yang akan melintas di lampu merah. Pada sudut lain, terlihat seorang pemuda dengan t-shirt putih dan celana hitam lengkap topi hitam bersama riasan wajah putih, sedang berpantomim, yang juga harus beradu dengan suara jalanan yang mengalahkan ekspresi sang ‘pantomimer’.

Kagum, senang dan menikmati, itu yang bisa dirasakan ditengah macetnya jalan saat mengendarai motor melewati jalan perempatan sudut Laksda Adi Sucipto. Kekhasan yang ditampilkan sungguh membuatku tidak jenuh, dan malah beberapa pengedara lain kemudian mengambil langkah cepat, meminggirkan kendaraan dan memvideokan aktivitas para ‘seniman jalanan’ ini. Tampil memukau dan sukarela dengan apa yang didapatkan. ‘Kepuasan’ dengan kebebasan berekspresi, tampil di ruang publik, dilihat orang lain, adalah bagian yang memang dicari oleh para seniman yang menampilkan karyanya.

Yogyakarta, memang merupakan salah satu kota yang sibuk dengan berbagai aktivitas masyarakatnya, tak ketinggalan aktivitas para wisatawan yang sengaja menikmati jalanannya, ataupun ruang publik yang selalu penuh sesak, terutama di hari akhir minggu. Kita akan menemukan berbagai sudut kota dipenuhi dengan wisatawan yang menikmati jalanan kota Yogyakarta. Pun tak ketinggalan para ‘content creator’ yang turut serta meramaikan kota ini. Mulai dari memotret aktivitas komunitas skateboard Yogyakarta, keramaian warung kopi klothok, berbagai street fashion style yang dikenakan para wisatawan dan keunikan bangunan kota Yogyakarta sebagai kota budaya di jalan Malioboro dan sekitarnya.

Jika melihat lebih jauh, tak hanya Yogyakarta dengan fenomena yang sama. Baru-baru ini, jika kita simak media, pun ramai dengan pemberitaan yang cukup viral dengan ‘Citayam Fashion Week’nya anak-anak muda SCBD (Sekitar Citayam, Bekasi (Bojong Gede), Depok). Saking viralnya, beberapa pengamat fashion, membandingkannya dengan Harajuku style di Jepang dan La Sape di Afrika. Adu gaya kekinian, dengan menampilkan identitas sebagai ‘anak muda jaman now’ mampu mendobrak ‘kelas sosial’ yang selama ini hanya dimiliki oleh kalangan ‘strata ekonomi kelas elite’, melalui jalur utama jalan Sudirman Central Business District (SCBD).

Sudirman Central Business District (SCBD) yang berada di area Dukuh Atas ini, diakui memiliki pesona tersendiri bagi anak-anak muda pinggiran ibu kota Jakarta. Area ini mengkoneksikan berbagai sudut kota, akses trotoar baru, koneksi jembatan layang antar moda transportasi, taman, public space yang bisa dimanfaatkan, mulai dari bermain skateboard, sepatu roda, bersepeda santai, hingga fotografi.

Sontak, berbagai fenomena ini membuat seluruh elemen bereaksi, tak hanya pegawai negeri namun juga akademisi, bahkan dari kuli hingga praktisi, berurun rembug dengan ‘ekspresi ala jalanan’ yang massif dilakukan berbagai kelompok muda yang ingin eksistensi. Pertanyannya mengapa jalan yang digunakan sebagai presisi? Tidak adakah ruang publik yang memadai? Ataukah ruang publik sudah tak cukup menampung jutaan ekspresi muda-mudi?

Jalan, sebagai salah satu fasilitas publik dengan topografi, kontur dan karakteristik ternyata memiliki makna dalam keterkaitan konteks sosial. Moughtin (2003) menyebut, ‘jalan merupakan garis komunikasi antara beberpa tempat yang berbeda, digunakan oleh berbagai aktivitas manusia, mulai dari berjalan kaki hingga berkendara. Dalam Architecture in Context, Brolin (1980) juga berpendapat, bahwa sebuah bangunan gedung, memiliki keterikatan dengan konteks lingkungan sekitarnya dan harus memiliki ‘kesesuaian’. Kesesuaian yang dimaksud Brolin adalah apakah kondisi gedung memiliki konteks arsitektur, memadukan keserasian secara sosial, budaya, ekologis nan historis. Apa artinya? Penekanannya adalah dimensi jalan dengan berbagai tempat, pergerakan dari satu tempat ke tempat lain, atau dalam bahasa Jacobs (1995) dan Appleyard (2006), jalan adalah ruang ekspresi sosial, berfungsi sirkulasi & interaktif, mudah diakses, membangun komunitas tanpa terbatas skala usia.

Jika ditilik dari makna ‘jalan’ di atas, yang ramai digunakan oleh anak-anak muda pinggiran ibu kota Jakarta, sebagai ruang ekspresi jatidirinya, tentu tidak salah dalam memilih. Begitu juga para seniman jalanan di sekitar Yogyakarta yang memilih sudut jalan simpang lampu merah jalan Laksda Adi Sucipto sebagai pilihan mengekspresikan karya seninya. Karena pada dasarnya ‘jalan’ merupakan salah satu ‘public space’ yang mempertemukan interaksi antar penggunanya, mengkoneksikan berbagai kepentingan yang pada akhirnya mengantarkannya pada pertemuan sebuah komunitas, menghubungkan perpindahan tempat dan tentu sebagai jalur utama dimana secara langsung ‘karya’ bisa dinikmati oleh semua kalangan, tanpa sekat ‘kelas sosial’ dan nilai ‘komersial’ yang harus dibayarkan.

Apa yang harus dipertimbangkan ketika jalan menjadi pilihan? Keselamatan, keamanan dan ketertiban kita sebagai pengguna, ini yang harus kita selaraskan ketika memanfaatkannya. Karena jalan adalah titik tumpu pada ruas dan sudut, dimana masing-masing memiliki normanya sendiri yang harus dijaga dan dihormati. Ada makna lain yang juga harus diberikan selain ‘mengekpresikan’ eksistensi diri, ruang bersama yang bisa menjadi kompromi dengan pilihan kepentingan strategis jiwa muda-mudi.

Ruang publik, inilah kemudian yang menjadi kata kunci, guna pemenuhan ekspresi diri, mulai dari; 1) Kebutuhan (human needs) dengan kenyamanan, relaksasi, aktivitaa pasif-aktif dan discovery adalah rasa yang memang menjadi keinginan setiap diri elemen masyarakat ketika mengakses ruang publik. 2) Hak penggunaan (rights of use) kebebasan beraktivitas, mulai dari akses, kemudahan bergerak, pengakuan penggunaan ruang hingga perubahan yang terjadi adalah prioritas yang perlu diutamakan, dan 3) Makna (meaning) makna historis, sosial, budaya, simbol keterhubungan yang menjadi kontribusi bagaimana ruang publik memberikan makna filosofi.

Inklusif juga salah satu aspek penting ruang publik, menjadi titik temu yang juga harus dicari, mewadahi rutinitas muda-mudi diberbagai penjuru negeri untuk berekspresi. Tidak harus pegi ke mall, café atau pusat perbelanjaan masa kini untuk menunjukkan eksistensi diri, agar nilai ‘nominal’ bisa bisa diminimalisir. Karena, bagaimanapun juga, tata kota, link antar area, landskap, dan pola moda transportasi menujukkan perubahan perilaku masyarakat desa hingga urban saat ini. Pada akhirnya, baik Kota Yogyakarta sebagai kota budaya, maupun Jakarta dengan segala kelebihannya sebagai smart city, masih harus berbenah diri, mengedepankan kohesi dan solidaritas sosial sebagai langkah dialog yang sinergis antar generasi.

Maybe we’re taking all the risks for something that is real (mungkin kita mengambil semua resiko untuk sesuatu yang nyata). Lirik akhir lagu Pamungkas di atas, mungkin layak menjadi pertimbangan betapa pentingnya nilai inklusifitas pada ruang publik yang kini dirindukan oleh semua kalangan, sehingga seluruh ekspresi bisa tersalurkan tanpa berdesakan kembali dengan ‘riuhnya’ suara deru mesin di jalanan yang bisa menjadi salah satu resiko kecelakaan.

Sumber: