STRATEGI ‘KUDA-KUDA’ PEMEKERAN WILAYAH PAPUA
Beberapa bulan ini, Indonesia dipenuhi berbagai hiruk pikuk berita yang cukup menggebrak atau bahkan membuat ‘dahi sedikit berkerut’ karena mengernyit. Ada banyak sekali hal baru yang menjadi kebijakan pemerintah, dimana bersamaan dengan Presidensi G20 yang juga harus ikut menyelaraskan situasi politik global. Belum usai kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia, sudah berdatangan ‘rasa tidak yakin’ kalangan netizen yang memenuhi media sosial akan keberhasilan pengaruh Indonesia di Internasional, meski akhirnya diakui ‘sebagai langkah berani demi menempuh kestabilan politik, ekonomi dan perdagangan global’.
Energi dan pangan, kini menjadi dua kata tak terpisahkan saat mengendus berita akhir-akhir ini. Bahkan membuat sang Presiden geram dengan menegaskan kembali, agar kementrian perdagangan fokus dengan menurunkan minyak gorengan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp.14.000,-/liter. Ini pun tidak lantas membuat semua senang, masyarakat petani sawit justru mendapatkan Rp.1000,-/kg dan penetapan harga pada Dinas Perkebunan untuk Tandan Buah Segar (TBS) di harga Rp.2.392,-/kg. Tentu harga ini lebih rendah dari biaya ‘parkir’ satu motor dalam hitungan 1 jam.
Krisis energi juga menjadi sorotan tajam global, meski Indonesia mendapatkan berkah untuk memasok batubara ke pasar Eropa yang sebelumnya telah ditinggalkan dengan berganti pada penggunaan gas. Tak lain dan tak bukan, hal ini disebabkan invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 5 bulan. Tentu, Pemerintah mengingatkan agar kita terus menjalankan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20% pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) agar ‘kita tetap menyala’.
Resesi, menjadi isu besar yang juga mulai kita pasang ‘tameng’ saat Bloomberg menyebutkan kita berada di peringkat 14 dari 15 negara yang terancam krisis ekonomi. Kembali, netizen sibuk dengan membandingkan krisis ekonomi yang terjadi di Srilanka, hingga terjadi tuntutan besar dan hijrahnya sang presiden serta keinginan penduduknya yang juga akan meninggalkan negaranya. Sebagai Kemenkeu tangguh, Ibu Sri Mulyani yang juga salah satu menjadi idola saya, langsung membaca indicator neraca pembayaran Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terhadap Gross Domestic Product (GDP) dan tak ketinggalan dari sisi ‘korporasi’, rumah tangga dengan situasi resiko 3%. Ini tentunya ‘resiko yang bisa dibilang tidak terlalu besar atau bahkan kecil’ dibandingkan negara lain yang bisa mengalami resesi di atas 70%.
Korelasi Pemekaran Papua dan Situasi Indonesia?
Belum selesai mungkin kita membaca situasi yang kita hadapi hari ini, ditengah kerentanan dan situasi kebijakan yang cepat mengalami perubahan, tambah ‘tahun politik’ yang terus mendekat membuat situasi terasa sesak. Perang slogan, karya, meme menjadi ‘gunjingan tabuhan politik’ yang sudah gaduh dan menggelitik di media sosial. Situasi bertambah gaduh ketika pemerintah dinilai terburu-buru ‘ketok palu’ pemekaran Papua yang meliputi; Papua Selatan (beribukota di Merauke), Papua Tengah (beribukota di Nabire) dan Papua Pegunungan (beribukota di Jayawiya), menjadi 3 provinsi baru di Papua. Bertambahnya 3 provinsi ini maka Indonesia resmi memiliki 37 provinsi pada 30 Juni 2022 kemarin.
Pemekaran 3 provinsi baru di Papua ini tentu dengan harapan akselerasi terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dua hal tersebut mendasarkan pada Inpres No.9/2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua dan UU No.2/2021 tentang Otonomi Khusus. Bahkan diperkuat oleh hasil survei lembaga kepresidenan yang mengatakan 82% masyarakat Papua meminta pemekaran wilayah.
Memekarkan wilayah bukanlah hal mudah. Pemerintah masih harus dihadapkan dengan perangkat kebijakan lain yang menjadi dampak dari pemekaran dari Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua, mulai dari RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Ketiga RUU ini tentu menuntut untuk segera disahkan sebagai legal formal yang juga akan membantu langkah masyarakat Papua menyelaraskan harapan kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.
Mungkin bukan hal yang klise, namun ini patut kita berhenti sejenak memikirkan langkah yang diambil pemerintah untuk Papua ini. Ada beberapa catatan penting yang mustinya menjadi pertimbangan.
Pertama, situasi tahun politik dalam negeri, ketimpangan sosial, kesejahteraan tak terhindarkan dengan turunnya daya beli masyarakat yang juga membuat pengusaha harus berputar mencari strategi atar tetap terus berlajut secara bisnis. Begitu juga dengan situasi politik global, ancamanan krisis pangan dan energi, Ini tentu akan menambah daftar panjang kemiskinan yang ‘sistematis dan struktural’ bahkan beban APBN yang juga akan ikut bertambah.
Kedua, RUU yang belum disiapkan sebagai perangkat pembentukan provinsi baru, juga menjadi polemic. Harusnya perangkat ini sudah menyertai pemekaran wilayah yang memudahkan akses akselerasi pembangunan dan kesejahteraan yang diidamkan sesuai dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Papua
Ketiga, memperhatikan jangkauan wilayah, luas, jarak, jumlah penduduk, potensi daerah, sosial budaya (PP 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah) dan tidak terfokus hanya pada ibu kota saja yang dibangun. Bagaimana pola pendekatan ini harus terukur. Kita tentu ingat, bagaimana masyarakat daerah di Mamasa (yang dimekarkan pada 2002) misalnya, merasa timpang karena kurangnya perhatian dan pembangunan dari pemerintah provinsi dan kabupaten induk. Hal ini berdampak pada bertambahnya jumlah kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Mamasa.
Keempat, sosial budaya menjadi factor utama ketika berbicara Papua. Ada banyak sekali suku di pulau yang merupakan provinsi paling timur Indonesia dan bersebelahan dengan Papua Nugini. Bahkan kata ‘Papua’ sangat identik dengan identitas dan morfologi masyarakatnya. Jumlah suku di Papua saat ini diperkirakan 256 suku kecil dan 307 bahasa daerah. Beberapa diantaranya adalah Suku Asmat yang mendiami Papua bagian Selatan. Suku Amungme, mendiami pegunungan Jayawijaya dan Suku Dani yang mendiami dataran tinggi Pegunungan Jayawijaya bagian tengah. Berikutnya adalah Suku Muyu, yang saat ini menetap di wilayah Kabupaten Boven Digoel, dimana sebelumnya sang nenek moyang mereka mendiami dekat Sungai Muyu, Merauke.
Pendekatan antropologis-sosiologis, harus menjadi faktor penting di bagian ini, merujuk pada Inpres No.9/2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat). Basis ini akan sangat signifikan dalam strategi pembangunan dengan tetap mengedepankan budaya, wilayah adat, fokus pada Orang Asli Papua (OAP), khususnya di area terisoli, pegunungan dan kepulauan yang sulit dijangkau. Desain pembangunan dan kesejahteraan harus menyesuaikan dengan konteks ini, terukur dan menyesuaikan dari apa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat asli Papua. Paling tidak apakah pendekatan ketiga provinsi akan sama dengan sebelumnya yang mendasarkan pada potensi andskap, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), industry, atau mengacu pada wilayah Adat yang juga menjadi tolok ukur utama strategi akselerasi pembangunan. Sekali lagi, tanpa merubah identitas masyarakat.
Kelima, pemekaran ini tentu jangan sampai membawa dampak menambah kembali beban APBN, menambah masalah baru atau bahkan menjadi ‘iming-iming’ insentif fiskal atau bahkan alat kekuasaan politis yang justru menurunkan kualitas governance. Karena gagasan pemekaran harus terintegrasi secara vertikal dan horizontal, dengan dampak kebijakan yang dibuat.
Sumber: