'Makna Filosofi Antara Rendang dan Babi'

'Makna Filosofi Antara Rendang dan Babi'

Suara riuh rendah para ibu yang sedang memasak begitu jelas terdengar. Tertawa, bercerita sambil menghaluskan berbagai bumbu untuk persiapan hajatan pendirian sebuah rumah yang berada di salah satu gang jalan Kota Yogyakarta. Cabai merah, bawah merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, serai, semua dihaluskan bersama garam dan gula merah. Begitu cekatan ibu C, mengayunkan batu giling untuk menghaluskannya. Irama yang terdengar ramah, lembut dan tidak gemerisik ketika menggunakan penghalus bumbu yang biasanya dipakai para ibu di generasi belakangnya yang dikenal dengan ‘blender’. ‘Bumbu yang digiling dengan batu ini punya cita rasa khas dibandingkan menggunakan mesin modern itu’ begitu kilahnya.

Tak menunggu lama, ibu A yang juga ditunjuk sebagai juru masak, dengan cekatan membantu ibu C, menuangkan bumbu rempah ‘rendang’ ke dalam santan yang berada dalam wajan besar dan telah diisi dengan serai yang digeprek, daun salam, lengkuas dan kayu manis. Tidak perlu ditumis menurutnya, karena santan sudah mengandung minyak kelapa murni. Perlahan diaduknya santan hingga hampir mendidih dan daging sapi yang telah dipotong dadu mulai dimasukkan satu persatu. Sebagai orang yang pernah berdiam di pulau Sumatera selama 5 tahun, proses memasak rendang memiliki arti tersendiri.

Apa yang dilakukan ibu C, ibu A dan para ibu yang lain, bagi saya merupakan bentuk kerjasama, berkolaborasi dalam menyusun sebuah tujuan akhir yakni ‘rendang’ yang lezat dan memikat tentunya, terlepas dari riuh rendahnya suara mengenai ‘rendang babi’ yang kini ramai diperbincangkan, tak hanya menjadi obrolan warung makan, pasar, hingga foto kopi di satu sudut kampus, tetapi juga dunia ‘meta’ turut memberikan masing-masing suara. Tak tanggung-tanggung, ‘rendang babi’ menjadi judul besar yang dibahas dari berbagai sudut pandang perspektif bahkan tokoh agama dan negara negeri ini, dari politisi, ustadz, cendikiawan, dosen, sastrawan, gubernur, kementrian agama hingga mahasiswa. Pun tak ketinggalan pemilik kedai kopi gang sempit dan angkringanpun berbicara dalam fokus dua kosa kata ‘rendang’ dan ‘babi’.

Sejak cerita soal ‘rendang’ bersama ‘babi’ ini mencuat, pada akhirnya kita membuka fakta sejarah, sejarah soal agama dan keberagamaan, soal filosofi dari nilai adat dan budaya bahkan soal ‘tata krama’ yang sering kali kita ‘abai’ dalam hal makanan. Hari ini ‘rendang’ memang menjadi makanan nasional yang diakui oleh Kementrian Pariwisata Indonesia pada 9 April 2018 bersanding dengan nasi goreng, soto, sate dan gado-gado. Rendang begitu cepat menyebar ke seluruh nusantara yang memang pada dasarnya disajikan dan dibawakan bagi masyarakat Minang yang merantau ke luar daerahnya.

Di sisi lain, dengan adanya pengakuan sebagai national food, ‘rendang’ memiliki nilai filosofi tinggi. Dalam ‘journal of ethnic food’ dalam tulisan Muthia Nurmufid dkk (2017), ‘Rendang: The Treasure of Minangkabau’, istilah ‘rendang’ berasal dari kata ‘marandang’ yang berarti ‘secara lambat’. Hal ini merujuk pada lamanya proses memasak rendang, ber jam-jam hingga aroma khas rempah keluar, yang konon berasal dari perpaduan India dan Timur Tengah saat datang ke Sumatera untuk berdagang. Rangkaian proses ini juga melambangkan ‘ketulusan, kesabaran dan kebijaksanaan melalui pemilihan bumbu dengan citarasa tinggi’.

Makna filosofi lain juga disebutkan dalam ‘Randang Bundo’ (2019) karya Amalia yang menyebutkan secara simbolik bahan-bahan rendang dengan makna adat yang tinggi. Daging merupakan simbol ninik-mamak (para pemimpin suku adat), dimana khas rendang menggunakan ‘dagiang kabau’. Karambia (kelapa), merupakan simbol cadiak pandai atau kaum intelektual, lado (cabai) merupakan simbol alim ulama yang senantiasa memberikan nasehat keagamaan dan bumbu (pemasak) yang melambangkan keseluruhan elemen masyarakat Minangkabau.

Babi, hewan ini juga memiliki nilai sejarah tersendiri, baik didalam agama maupun dalam perkembangan nusantara. Dalam agama Abrahamik atau Samawi (Yahudi, Kristen, Islam), faktor material sangat mempengaruhi budaya yang berkembang ditengah manusia. Ekosistem alami babi dengan perkembangbiakan yang cepat tentu merupakan ancaman tersendiri bagi masyarakat Timur Tengah saat itu. Tidak hanya soal ‘kekotoran’ pada diri babi yang melekat, namun juga sangat maladaptif untuk dikembangkan dengan minimnya faktor ketersediaan sumber daya pakan (Harris, 2019).

Kitab Perjanjian lama, dalam Imamat 11: 7-8 dan Ulangan 14:8 juga sama menyebutkan pelarangan memakan hewan ‘berkuku belah’, bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, tentu hewan dengan ciri ini adalah babi. Hanya saja dalam Markus 7: 18-19, menjelaskan lebih mendalam soal filosofi makanan, bukan makanan yang masuk ke perut menjadi najis, melainkan apa yang keluar dari hati dan menyakiti orang lain menjadikannya najis.

Babi juga disebutkan dalam Al-Qur’an, surat al-Maidah: 3, dan an-Nahl; 115, jelas menyebutkan pengharaman atas bangkai, darah dan ‘daging babi’, meskipun terdapat pengecualian dalam kondisi terdesak. Alasannya, secara filosofis babi memiliki perilaku yang buruk, menyukai kotoran, rakus, dan berbagai alasan medis seperti berbagai jenis cacing yang mendiami babi. Ini yang kemudian menjadikan ‘daging babi’ tak layak konsumsi bagi umat Islam.

Di nusantara, babi juga turut memberikan makna sejarah tersendiri. Fosil di Sangiran dengan usia 780.000 tahun lalu menunjukkan adanya babi sebagai salah satu sumber makanan masyarakat pra sejarah. Begu juga dengan lukisan dinding gua yang berada di Maros- Sulawesi Selatan, dimana digambarkan babi sebagai hewan buruan dan dikonsumsi. Pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur, tergambar bagaimana babi menjadi salah satu hewan yang diternakkan selain kambing dan ayam. Mpu Prapanca menyebutkan dalam Negara Kertagama di abad ke-14 bagaimana kisah para raja menikmati sajian daging babi liar (wok).

Berbeda dengan sejarah Eropa, dimana Pigafetta (penjelajah Venesia 1524) saat bertemu dengan Raja Tidore, yang justru kemudian menyuruhnya untuk membunuh semua babi yang dibawanya, kemudian digantikan dengan kambing dan ayam dengan jumlah yang sama. Ini merupakan penunjukan diri dari nilai ketatan dalam memeluk Islam saat itu untuk tidak mengonsumsi babi.

Sejarah ini tentu menjadi gambaran penting, bagaimana kemudian ada dua entitas berbeda secara filosofis antara ‘rendang’ dengan ‘babi’ dalam balutan suku kata. Rendang dimana tempatnya berasal adalah ‘ranah Minang’ dengan ‘Adat basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato, Adat Mamakai’ sebagai landasan tata perilaku dalam hidup dan berkehidupan secara horizontal dan vertical. Ini yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan cara hidup ‘Orang Minang’ dimana ‘resep marandang berasal’. Ini yang kemudian membedakan, mengapa sulit untuk memadukan ‘makna’ rendang dengan ‘babi’ dalam satu sajian rasa.

Pada akhirnya, dari sela-sela obrolan dapur dengan para ibu di Yogyakarta, meskipun jauh dirantau dari tanah Minang, ‘rendang’ membawa diri makna filosofinya yang tak akan sama ketika itu dipandang sebagai sebuah ‘bumbu masakan biasa’ yang bisa dipraktekkan oleh juru masak dimanapun berada. Rendang, juga tak hanya makna ‘penghormatan leluhur’ tetapi sejarah bagaimana ‘masakan itu tercipta dan menyebar menjadi milik bangsa’. Jika hanya dipandang tanpa filosofi, mungkin rendang bisa disajikan dalam satu balutan rasa dengan babi, namun apabila rendang ditilik dari makna sejarah dan antropologi, maka balutan rasa itu tak akan sampai di hati.

Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana memaknai ‘rendang’ sebagai warisan budaya, filosofi, hakikat dalam kejernihan pendalaman adat basandi syara’ di Minangkabau, selaras dengan peristiwa, konteks bahkan proses dari berbagai perubahan dimensi sejarah. Selalu akan terbuka perpaduan balutan rasa rendang dengan empati tinggi terhadap masyarakat Minang yang menjunjung tinggi nilai budaya Islam dalam berbagai ragam karya masakannya.

Sumber: