Kemilau Hulu Barito yang Tak Lagi Memukau
Suara deru mesin speedboat begitu jelas terdengar ditelinga meskipun berjarak hampir 5 m dari Pelabuhan sungai Barito. Barito merupakan salah satu sungai besar di Indonesia, berhulu di pegunungan Schwaner Muller di bagian utara Kalimantan Tengah dan bermuara di Banjarmasin menuju laut Jawa. Sungai Barito dikenal sejak ratusan tahun silam, termasuk berbagai mitos, legenda, situs sejarah Kerajaan banjar di Banjarmasin, Patih Muhur di Batola hingga pemukiman suku Dayak dari bagian tengah hingga hulu sungai Barito. Bahkan tercatat, sungai ini punya andil besar dalam sejarah persebaran berbagai suku Dayak, saksi sejarah hingga tradisi kehidupan hingga anak sungai di bagian tenggara Kalimantan.
Tak mudah untuk mencapai desa yang menjadi tempat tinggal suku Dayak Bakumpai, Uut Danum-Kadorih, Siang-Manyan, Kahayan ini. Kita harus menaiki Klotok (kapal taxi) dengan biaya 150 ribu sekali jalan dari Kabupaten Puruk Cahu. Klotok mampu menampung hingga 8 orang lebih dengan beberapa barang yang simple dan ringan. Kita akan melewati beberapa rumah dan warung ‘serba ada’ yang terapung di atas sungai Barito.
Sungai Barito memiliki panjang 900 Km, lebar 350-500 m, dengan kedalaman 6-14 m, dan mampu dilayari hingga 700 Km. Potensi sungai ini juga cukup banyak, mulai dari kekayaan alam berupa kayu alam seperti Ulin, Balam, Kaliandra, dan lainnya, juga terdapat berbagai hewan endemic, mulai dari burung Rangkong, burung Air dan lainnya. Berbagai jenis tanaman obat, emas hingga batubara yang menjadi kekayaan tak ternilai Sungai Barito. Pak Hatta, salah satu masyarakat desa Tumbang Tuan, dari suku Dayak Bakumpai menyebut, terdapat 41 jenis tanaman obat di dalam hutan di sekitar aliran sungai Barito, diantaranya Sarang Semut, Bajakah, Seluang Belum dan lainnya. Sarang wallet juga menjadi kekayaan alam dengan masih terjaganya beberapa hutan tersisa di area ini.
Ketika menyusuri sungai ini, kita akan mulai disuguhkan dengan pemandangan cantik jembatan Banjar, yang melintasi sungai, berbentuk mlengkung dengan susunan besinya. Setelah itu, kita akan melewati berbagai hunian rumah kayu di pinggiran sungai, beralaskan kayu Ulin bulat dibawahnya yang disebut dengan Rumah Lanting. Semakin ke hulu, kita juga akan menemukan puluhan mesin penambang emas milik masyarakat yang telah turun temurun digunakan. Deru mesin besar dari mobil hardtop yang telah dimodifikasi membuat suara khas beradu dengan aliran lumpur dan pasir untuk menyaring butiran emas. Tak ketinggalan suara deru mesin penebang kayu berjajar, baik skala kecil maupun besar, ikut meramaikan riak sungai Barito.
Dalam dokumen Indonesia Green Growth Plan (IGGP) 2022, disebutkan Kalimantan Tengah memiliki wilayah Kesatuan pengelola Hutan (KPH) dengan luas 8.510.524 ha dengan 4 unit Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) seluas 454.443 ha sekaligus 29 unit Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP). Dengan luasan ini, maka tak mengherankan jika Sungai Barito menjadi perencanaan dan pencadangan sumber daya berikutnya untuk dikelola.
Tahun 1998-2000-an, sungai ini bahkan memberikan karunia terbesarnya. Emas, didapatkan dengan mudahnya, disebut sebagai tahun puncak emas bagi masyarakat hulu. Bagaimana tidak, penghasilan 600-800 juta, tidak sampai sebulan dengan mudah didapatkan. Mencari emas 10 gram, bukanlah hal yang sulit dalam sehari. Begitu juga dengan sarang Walet yang mampu mencapai omzet ratusan juta rupiah. Etty, perempuan berusia 63 tahun dari desa Tumbang Tuan menyebut, dulu dengan mudah sehari mendapatkan emas 1-3 gram, hanya dengan mendulang menggunakan wajan tradisional di pinggiran sungai. Sekarang, begitu sulit didapatkan, apalagi sudah sering terjadi air pasang hingga dangkalnya sungai karena naiknya pasir di area bekas tambang. ‘Sekarang cari emas sudah susah, sudah 2 bulan ini air pasang. Jadi harus pindah lokasi pencarian hingga ke bukit atau hutan dengan jarak 1-4 Jam dari desa’, kata Etty yang merupakan suku Dayak Uut Danum sambil menunjukkan area lokasi pencariannya yang terletak jauh di belakang desa Tumbang Tuan.
Tak hanya soal sulitnya mendulang emas di masa pasang sungai, para perempuan yang mayoritas para ibu rumah tangga di desa Laas Baru yang bersebelahan dengan desa Tumbang Tuan, juga mengeluhkan tingginya harga pangan di des aini, mulai dari sayuran, bumbu dapur, beras, minyak goreng, gula, ayam, ikan telur hingga gas elpiji. Ya…sebagian besar mengaku, meski kayu bakar masih digunakan, namun gas dinilai lebih praktis dan menjadi ‘barang wajib’ yang harus dibeli dengan harga 285 ribu/12 Kg gas elpiji yang hamper setara dengan harga sekarung beras 20 Kg. untuk mendapatkannyapun harus mengambil dari Kabupaten Puruk Cahu yang jaraknya mencapai 88,1 Km dengan moda transportasi Taxi sungai atau Klotok. Untuk belanja 1 minggu, para ibu di desa ini mengaku harus mengeluarkan uang senilai 800 ribu-1,5 juta. Tentu saja sangat besar nilainya jika dikonversi dengan emas yang saat ini sulit didapatkan. Akibatnya adalah inflasi ekonomi berskala besar terhadap ketersediaan pangan masyarakat.
Apa yang dikeluhkan Etty, sama halnya dengan dua desa berikutnya Laas Baru dan Tumbang Kunyi yang menjadi ibu kota kecamatan Sumber Barito. Berkurangnya emas, bahkan membuat sebagian masyrakat Tumbang Kunyi bermigrasi ke area desa hulu atas seperti desa Takajung, Joloi yang ada di Kecamatan Seribu Riam, maupun beralih profesi sebagai pengusaha di Kabupaten Puruk Cahu yang berjarak 3-4 jam dari desa-desa ini hingga ke kabupaten Kapuas. Sebagian masyarakat lain yang tersisa, Kembali menekuni menjadi petani Karet dengan harga 9000/Kg yang dijual melalui bandar desa ataupun bandar kapal dagang yang nantinya dikumpulkan dan disetorkan pada perusahaan karet yang ada di Banjarmasin.
Perubahan cara pemanfaatan sumber daya alam secara ekstraktif oleh masyarakat dalam menambang emas, maupun perusahaan dan individu dalam Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi catatan kritis bagi kita semua. Betapa sungai Barito yang pada tahun 1950-an masih besar potensi ikan endemiknya, dapat digunakan untuk sanitasi hingga berbagai aktivitas yang membutuhkan air, kini berubah menjadi sungai yang keruh, kotor dengan pencemaran Solar sebagai bahan bakar mesin ‘Kato’, sampah rumah tangga, limbah HPH, hingga sedimentasi yang tinggi. Pendangkalan sungai jelas terpampang nyata dengan berbagai kerusakan yang membentuk gundukan bebatuan maupun bongkahan tanah yang menyerupai gua, hingga hamparan pasir yang luas.
Ada bagian penting yang harus dilakukan bersama dalam mengatasi soal ini. Kuncinya adalah kemitraan (partnership) dan tentu saja literasi risk & financial management bagi masyarakat Dayak yang tinggal di area ini. Proses ini mungkin tidak mudah, karena harus memberikan edukasi terlebih dahulu, meraih trust masyarakat agar membentuk bounding dalam melakukan perubahan social kea rah yang lebih positif. Partnership, dapat dilakukan dengan bermitra, bekerjasama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, sektor swasta, akademisi hingga non goverment organization untuk ikut serta dalam akselerasi perbaikan tata Kelola lingkungan. Risk management, mengidentifikasi resiko dan mengukur dampak yang terjadi baik yang dihadapi, maupun yang bisa saja terjadi dalam proyeksi jangka panjang. Sehingga dapat dipetakan pola mitigasi dan strategi yang efektif untuk memperbaiki area sungai yang terdegradasi. Financial management, bersama mengedukasi masyarakat untuk memperbaiki tata Kelola keuangan, memetakan investasi, asset yang dapat digunakan dalam jangka panjang. Sehingga secara pengeluaran akan selaras dengan pemasukan dan punya peluang investasi lebih baik untuk keberlanjutan.
Sumber: