Isra' Mi'raj dan Kesalehan Sosial: Refleksi Damai Dalam Kenegaraan
Anak laki-laki kecil yang lahir pada 12 Rabi’ul Awwal, menjadi penanda datangnya kerasulan seseorang yang bernama Muhammad. Tanda-tanda kenabian dan kerasulan dituliskan dalam sejarah ketika Muhammad diajak berdagang oleh sang paman dan dipayungi oleh awan saat dalam perjalanan. Saat berusia 40 tahun, Muhammad kecil menerima wahyu untuk pertamakalinya di Gua Hira dengan turunya surat Iqra’ (bacalah) yang memiliki filosofi pengetahuan dan senantiasa membaca berbagai tanda keesaan dan kebesaran Tuhan.
Muhammad, dikenal sebagai salah satu Nabi dan Rasul bagi umat Islam, diyakini sebagai nabi sekaligus Rasul terakhir yang dikirimkan Allah di muka bumi. Dalam berbagai sejarah Islam, Muhammad disebut sebagai salah satu pembangun peradaban dunia, membawa sebaran agama yang toleran bagi sesama, yang ditandai oleh perjanjian Hudaibiyah dan berdasarkan QS. Hud: 119-120.
Isra’ Mikraj merupakan salah satu peristiwa extra ordinary event yang terjadi pada Muhammad tepat 10 tahun pasca diangkatnya sebagai Rasululullah (utusan Allah) sebelum berpindah ke Madinah. Isra sebagai perjalanan Muhammad dari Masjidil Haram di Makkah, ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. Sedangkan Mikraj adalah perjalanan Muhammad dari bumi hingga menembus langit ke tujuh ke Sidratul Muntaha. Peristiwa ini juga menggambarkan cepatnya Muhammad meninggalkan bumi menuju Sidratul Muntaha dan ditemani oleh Malaikat Jibril menggunakan kendaraan yang disebut dengan Burok.
Dalam peristiwa ini, Muhammad menjumpai beberapa Nabi terdahulu, Nabi Adam di surga pertama, Nabi Isa di surga kedua, Nabi Yusuf di surga ketiga, Nabi Idris di surga keempat, Nabi Harun di surga kelima dan Nabi Musa di surga keenam. Dan hasilnya adalah shalat 5 waktu yang dijalankan oleh umat Islam hingga hari ini. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah dimana peristiwa ini dianggap sebagai bahan ejekan, karena dianggap mustahil melakukan perjalanan pada waktu yang singkat menembus langit ke-7 dalam satu malam. Satu-satunya sahabat yang mempercayai Muhammad saat itu dengan gelar asshidiq adalah Abu Bakar, sekaligus menjadi mertua Muhammad, SAW di kemudian hari pasca wafatnya Khadijah R.A, dengan mempersunting Aisyah R.A.
Makna Isra’-Mikraj dalam Kesalehan Sosial Konteks Kenegaraan
Berbicara Isra’ dam Mikraj hari ini, bukan hanya soal peringatan atau rutinitas tahunan yang selalu dirayakan oleh Sebagian besar umat Islam di dunia, melainkan filosofi dan bagaimana memaknai Isra’ Mikraj dalam diri Muhammad. Sebagai Rasul, bukanlah tugas yang mudah mengajak umat pada saat itu untuk melakukan shalat 5 waktu. Apalagi ditengah tradisi yang cukup kuat dalam animisme dan dinamisme. Akan tetapi, pesan yang terkandung adalah ‘ketaatan manusia kepada Tuhan melalui panggilan’. Shalat secara harfiah bermakna doa, sedangkan secara terminologi Islam, shalat merupakan gerakan dan bacaan, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Pada dasarnya shalat merupakan lebih pada merefleksikan bahwa Tuhan memanggil makhluknya dalam waktu 5 kali dalam sehari semalam. Esensinya adalah mengembalikan diri dalama peneguhan iman, mengimani yang Esa, Kembali pada Tuhan apapun aktivitas dan daya upaya yang kita lakukan. Bahkan jika dirasakan mungkin hanya sebatas 5 x 5 menit dalam waktu 24 jam yang tersedia selama kita bekerja, belajar, beristirahat dan lainnya. Sehingga dalam rentang waktu itu, ada pada saatnya mengembalikan siapa diri kita dan memenuhi tujuan pemanggilan Tuhan.
Dalam pristiwa Isra’ Mikraj begitu diawali dengan berbagai peristiwa yang membuat Muhammad kehilangan support, kematian 2 orang sekaligus, yakni Abu Talib (pamannya) dan Khadijah (istri pertama) yang sangat mendukung perjalanan Muhammad menyebarkan Islam yang ‘rahmatan lil alamin’. Belum lagi intimidasi dan berbagai hal yang dilakukan terhadap Muhammad oleh kaumnya sendiri pada saat itu, yang dianggap membawa ajaran baru dan ajaran yang tentu saja tidaklah sama dengan nenek moyangnya.
Hal inilah yang kemudian, Tuhan meng-isra’ dan me-mikraj-kan Muhammad secara khusus, sebagai bentuk ‘hadiah’ sekaligus tanggungjawab merangkul umat dengan keteladanan filosofi perintah Tuhan melalui ibadah shalat. Bahkan secara khusus, ritual ini dimaknai sebagai bentuk ‘tanha anil fakhsya’i wal munkar’ pencegah kesrusakan dan kemungkaran. Sehingga Ketika dihubungkan dengan makna ‘kesalehan sosial’ perintah ini tak berdiri sendiri, melainkan berelasi dengan dengan pilar hukum Islam lainnya termasuk dimensi pengakuan keesaan Tuhan melalui syahadat, zakat, puasa dan berhaji bagi yang mampu. Dimensi kesalehan sosial merupakan bagaimana mengelola hubungan sosial kita dengan sesama manusia. Apalagi ditengah situasi pandemic covid 19 yang justru dituntut untuk sementara menggantikan relasi fisik dengan relasi non fisik. Ada dimensi dalam relasi sosial yang mampu menundukkan manusia dari keangkuhan, kesombongan dan keegoisan.
Apabila direfleksikan, justru memastikan jaminan relasi sosial menjadi utama, sebelum saleh individual, termasuk memastikan keamanan sebelum keimanan ‘al-aman qablal iman’. Andai saja makna ini diterapkan maka tak akan ada peperangan, seperti yang terjadi hari ini antara Rusia-Ukraina, antara Israel-Palestina bahkan perang antar sesama suku diberbagai negara. Peperangan yang terjadi dalam konteks kenegaraan adalah contoh nyata, ketika kesalehan kita hanya terbatas pada individu, untuk diri sendiri, merasa diri paling mulia, menundukkan lawan dan merasa hebat sekalipun masih berada pada kuasa Tuhan. Sehingga mendorong untuk bersikap egois dan mampu memenangkan peperangan dengan berbagai politik kenegaraan.
Kesalehan sosial bertumpu pada makna ‘perdamaian’, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, membangun sisi humanis, dan mengasihi sesama. Tentu kita semua ingat, dimana Muhammad mengajarkan kesalehan ini dalam konteks kenegaraan ketika melindungi kaum Yahudi saat melebarkan nilai Islam diberbagai negara, pun perjanjian Hudaibiyah yang mengakomodir semua agama, melahirkan tasamuh (toleransi) ditengah kemelut antar suku saat memindahkan hajar aswad, bahkan menyuapi makanan pada seorang nenek Yahudi yang terlantar, menjamin nilai saleh pada seorang kakak yang memberikan nafkah kepada adiknya yang lebih memilih hari-harinya beribadah dan banyak lagi contoh keteladanan lainnya.
Peringatan isra’ mikraj kali ini, meski ditengah pandemi covid 19 dan berkecamuknya perang Rusia-Ukraina, seharusnya menjadi refleksi pentingnya membumikan nilai-nilai humanis-sosiologis, membantu-menjembatani perdamaian ditengah hiruk pikuk politik kepentingan berbagai negara akan keduanya, menyudahi konflik, membangun empati, sebagai bagian dari memahami keberlanjutan kedua negara dan generasinya. Kesalehan sosial bukan soal saling mempertahankan harga diri negara dengan berperang, melainkan membangun jembatan peradaban ke depan. Bukan sekadar bertahtakan setumpuk dukungan invasi, melainkan bersama bersaudara kembali. Apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina dalam konteks kenegaraan adalah refleksi kesalehan sosial kita dengan berbagai dinamika dan tantangan untuk tetap menjadi Indonesia yang akan terus ber-tasamuh, berempati, mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam perilaku sehari-hari tanpa peduli akan propaganda nilai islam yang penuh arti. Laksana surgawi, begitulah nilai kesalehan sosial yang akan terus melekat menjadi harapan negeri di bumi pertiwi.
Sumber: