Meiliana dan ‘Lumpia Rebung’ Ke-Indonesia-an

Meiliana dan ‘Lumpia Rebung’ Ke-Indonesia-an

Perempuan berperawakan sedang, berambut hitam bergelombang dan bermata sipit itu sedang mengaduk bahan tepung dengan cara tradisional. Setelah selesai mengaduk bahan kulit Lumpia, taangannya kemudian begitu cekatan mengupas rebung, dan beberapa tambahan bumbu lain untuk ditambahkan sebagai isiannya. Dengan api sedang, ia kemudian memasak seluruh isian Lumpia dan satu-persatu, seluruh kulit itu akhirnya terisi dengan isi Lumpia sampai penuh dan siap dipasarkan melalui WhatsApp dan juga Facebook.

Bagi Meiliana, Lumpia bukanlah sekadar makanan dengan isian sayuran yang penuh gizi. Namun lebih dari itu, Lumpia merupakan simbol kebahagiaan masyarakat khususnya Tionghoa sekalgus simbol akulturasi budaya. Dalam perkacapan sunyi, Meiliana mengungkapkan, ‘saya merasa, ini adalah sejarah yang bermakna selama saya menjadi bagian dari Indoesia. Lumpia adalah simbol kebahagiaan sekaligus anugerah Tuhan YME bagi saya dan keluarga. Ada doa dan keberkahan didalamnya, terutama ketika tahun baru dan musim semi telah datang’.

Cik Mei, panggilan akrabnya begitu antusias saat membicarakan nilai-nilai sejarah dalam sebuah Lumpia. Lumpia dikenal dengan sebutan Chunjuan yang sudah dikenal sebelum Dinasti Tang (618-907). Lumpia menjadi hidangan yang akrab ditemukan saat musim semi, yang jatuh pada tahun baru Imlek dan menjadi menu hantaran untuk tetangga, kerabat dan handai taulan, bahkan menjadi berbagai sajian variatif dan merakyat pada zaman Dinasti Tang. Hanya saja khusus untuk sajian Imlek, Lumpia harus disajikan dalam bentuk silinder dan digoreng hingga keemasan, sebagai simbol pembawa keberuntungan dengan ucapan "Hwung-jin wan-lyang” yang berarti setumpuk emas untuk kita semua di tahun yang baru.

Lebih dari itu, makna Lumpia sendiri menurut Cik Mei, merupakan sejarah yang mempersatukan Tionghoa dan Indonesia. Ia menyebutkan, pertamakalinya Lumpia hadir di Kota Semarang pada abad 19, menjadi perpaduan asli Tionghoa-Jawa, karena pernikahan sejarah pertama Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian dan Mbak Wasih yang merupakan suku Jawa asli. Lumpia menjadi makanan yang dikenal pada saat dipasarkan di Olympia Park, Pasar Malam Belanda yang ada di Kota Semarang dan bahkan mulai dikenal sebagai bagian dari salah satu kuliner khas Indonesia, khususnya Kota Semarang Ketika pesta olah raga Games of the New Emerging Forces (GANEFO) zaman Presiden pertama RI, Ir. Soekarno pada 1962 silam.

Kecintaan Meiliana pada Indonesia yang lahir pada 14 Mei 2974, dari suku Hokkian dan bermarga Tan (Chen), ini begitu mendarahdaging. Selain bagaimana ia kemudian memaknai sebuah ‘Lumpia’ lebih dari sekadar makanan, Cik Mei juga aktif menuliskan berbagai karya yang ia dedikasikan untuk Indonesia, sebagai tempat lahir dan sekaligus sebagai bumi dimana ia dibesarkan. Beberapa karya tulis ini bahkan menjadi bagian dari juara cerita bersambung di majalah Femina pada 1997 (Perahu Kertas), Bunga Jambu (1999), Kupu-Kupu (2000), Belajar Terbang (2001). Beberapa karya fiksi yang ia persembahkan sebagai karya untuk anak bangsa diantaranya telah diterbitkan oleh Gramedia, seperti Konser (2009), Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus (2010), Mempelai Naga (2010) dan Sembrani (2010). Sembari duduk di kursi kesayangannya, Cik Mei begitu antusias menunjukkan seluruh karyanya kepadaku, dan rasa bangganya menjadi bagian dari Indonesia, tak hanya karya, namun juga menghidupkan tradisi akulturasi budaya keindonesiaan dengan toleransi tinggi yang ia temukan sebagai perempuan berdarah Tionghoa dan tetap ‘berjiwa’ Indonesia.

Lumpia dan Pesan Kedamaian Indonesia

Tahun ini, bagi Meiliana, merupakan Imlek yang harus dirayakan dengan suka cita dan kedamaian serta memberikan rasa kasih sayang, untuk umat manusia seluruh Indonesia. Makna Macan Air pada Imlek di 2022, merupakan ‘keberanian’ yang harus dimiliki oleh Indonesia, sebagai bangsa yang berjiwa besar dengan beragam budaya untuk terus tumbuh dalam toleransi keberagamaan dan keberagaman dengan dasar Pancasila. ‘Air’ pada Imlek kali ini memiliki lambang kepekaan, peduli, kreativitas dan keterbukaan terhadap perubahan. Tentu hal ini juga tidak mudah, dimana bangsa Indonesia masih berhadapan dengan Pandemic Covid 19, terutama Omicron yang masih menyinggahi negeri kita.

Apa yang dilakukan oleh Tjoa Thay Joe bukan tanpa alasan dengan situasi politik yang bisa terjadi padanya, ditengah rasa keinginan untuk menetapkan dirinya menjadi bagian dari bangsa ini. Cik Mei mengakui, bukanlah hal mudah untuk menjaga jati diri, identitas dan kecintaan sebagai masyarakat Indonesia. Ia, sebagai salah satu perempuan Tionghoa merasa belum selesai dalam perannya sebagai masyarakat Indonesia. Sehingga tulisan dan Lumpia menjadi pilihannya sebagai ‘cara’ untuk mengejawantahkan keunikan Indonesia dalam kudapan yang istimewa di mata sejarah antara Tionghoa dan bangsa Indonesia.

Pada Imlek tahun ini, Cik Mei tetap berdoa akan kedamaian bagi Indonesia, ditengah hiruk pikuk politik, perjuangan demokrasi dan Pemilu yang akan datang pada 2024. Menjaga kedamaian dengan karya dan pesan kebangsaan melalui Lumpia merupakan caranya berdedikasi. Baginya, belajar dari sejarah perjuangan NKRI, bagaimana seorang Liem Koen Hian yang berani melawan jurnalis pada zaman pendudukan Belanda yang rasis terhadap Indonesia saat itu di tahun 1932, John Lie sebagai salah satu TNI AD masa penjajahan Jepang yang makamnya bisa ditemukan di Kalibata, Lie Eng Hok (jurnalis Sin Po) , seniman Sho Bun Seng, Tjia Giok Thwam, Ferry Sie King Lien, Ong Tjong Bing, hingga Sue Hok Gie yang tetap konsisten dalam memperjuangkan reformasi hingga akhir hayatnya bahkan diangkat pada film layar lebar dengan judul ‘Gie’ dan perankan oleh Nicholas Saputra di tahun 2005.

Dengan berbagai literatur sejarah inilah, kenapa kemudian 21 tahun lalu Gus Dur pada 09 April 2001, memberikan penghargaan kepada masyarakat Tionghoa Indonesia menjadi bagian dari Indonesia yang penting dan mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 sebagai bentuk anugerah dan penghargaan terhadap sebuah gerakan perjuangan bersama bagi NKRI.

Kini usia Cik Mei mungkin tak lagi muda, tapi ia tetap mewariskan semangatnya kepada 4 anaknya sebagai generasi penerusnya untuk tetap melestarikan budaya, membawa jatidiri sebagai bagian dari sejarah republik Indonesia. Dia berpesan diakhir percakapan panjangnya, ‘aku lahir di sini, bukan untuk sekadar menjadi manusia biasa, tetapi aku dilahirkan di bumi pertiwi Indonesia, merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kehidupan ditengah besarnya sebuah bangsa, menyaksikan sejarah, perjuangan dan kecintaanku pada Indonesia. Menulis dan membuat Lumpia dengan tanganku, adalah pesan yang akan menjadi warisan anak dan cucuku, untuk terus membawa kedamaian bagi negeri ini seperti pesan sejarah bahwa Lumpia adalah ‘Hwung-jin wan-lyang’ yang berarti kedamaian bagi sesama’.

 

 

 

Sumber: