METAVERSE: AKSELERASI KEHIDUPAN DIGITAL MASYARAKAT INDONESIA, MUNGKINKAH?

METAVERSE:  AKSELERASI KEHIDUPAN DIGITAL MASYARAKAT INDONESIA, MUNGKINKAH?

Metaverse dianggap sebagai salah satu upaya optimal dan cepat dalam memindahkan capaian ini. Digitalisasi mulai dari dunia pendidikan, layanan kesehatan, layanan pekerjaan, layanan rekreasi, akses berbagai kebutuhan merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga transformasi ini diharapkan diikuti oleh masyarakat. Jika ditilik dari proporsi jumlah penduduk pada 2020, Indonesia didominasi oleh Gen Z dan Millennial. Gen Z ditengarai mencapai 75,49 juta jiwa (27,94%) dari total populasi masyarakat Indonesia. Sedangkan Millennial mencapai 69,38 juta jiwa atau sebesar 25,87% dari total populasi. Generasi X mencapai 58,65 juta jiwa atau 21,88%. Ini artinya, Gerakan pembangunan di Indonesia melalui akselerasi Metaverse dapat dimulai dari kalangan Gen Z dan Millennial bahkan itu sudah terjadi, meskipun masih dalam situasi yang terbatas dan dalam ruang pemaknaan yang sempit akan dunia Metaverse. Bagi generasi ini, Metaverse dimaknai sebagai dunia individualistic, mendapatkan pengakuan, jati diri hingga memperoleh property dari ruang permainan dan pergaulan. Dunia menjadi sangat terbatas pada virtual yang mereka tidak temukan dalam realitas.

Apa yang terjadi dengan dunia Gen Z dan Millennial dalam dunia metaverse tentu akan membuka gap atau kesenjangan yang cukup besar. Jika dibandingkan dengan Baby Boomers atau Gen X dan Y, maka perlu disiapkan dalam hal human development yang lebih baik oleh pemerintah dalam kerangka memasuki dunia metaverse. Bagaimana tidak, masih banyak masyarakat generasi ini yang tinggal di sekitar hutan, pedesaan yang tentu saja tidak ada signal, tidak bisa akses informasi, bahkan mungkin pendidikan. Bahkan masih banyak masyarakat adat sebagai vulnerable groups masih membutuhkan dukungan dalam pembangunan infrastruktur khususnya di dunia metaverse.

Penting kemudian bagi kita semua menyikapi booming metaverse dengan bijak dan tentu harus sesuai dengan budaya Indonesia dalam creatingnya. Beberapa hal yang harus disiapkan dalam memasuki dunia metaverse adalah;

Pertama, human development. Ini merupakan fondasi utama, metaverse akan bisa dibangun dengan dahului pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mengejar ketertinggalan dan mengakselerasi dari berbagai sisi pendidikan, kesehatan, livelihood yang menyasar pada masyarakat diberbagai belahan pulau terdalam, hutan dan pedesaan.

Kedua, infrastructure. Tak dipungkiri, memasuki dunia metaverse membutuhkan infrastuktur yang high cost. Tentu ini menjadi pejerjaan rumah Indonesia terutama soal anggaran yang akan digunakan dan bagaimana mulai membangun perangkatnya yang harus segera disiapkan. Tak hanya infrastructure metaverse technology, namun juga infsaructure impact dimana akan banyak terjadi ‘manusi mungkin bisa tidak mampu membedakan mana dunia nyata dan mana dunia digital’ karena tidak ada batasnya. Kesehatan psikologis akan sangat mahal pada level ini dan mental health akan menjadi sangat peting bagi manusia. Dan mungkin bisa saja menjadi profesi yang sangat diburu banyak orang.

Ketiga, regulation. Metaverse bukan berarti soal kesempurnaan teknologi. Namun lebih dari itu, metaverse tentu ke depan akan membawa dampak positif sekaligus negative. Contoh yang paling gampang adalah, Ketika hari ini sudah ditemukan 2.556 angka kekerasan berbasis online terjadi, tak hanya verbal namun juga pengaruh psychology pada user. Belum lagi ini akan terus bertambah, Ketika ‘rasa dan aroma’ juga bisa dirasakan di dunia metaverse pada masa ‘Neur0-SpatioTemporal’ dimana mampu mendigitalisasi imajinasi dan kesadaran, sekaligus menurut Budiman Sudjatmiko (2022), mimpi bisa direkayasa dan divaluasi dalam nyata! Harus ada regulasi yang bisa melindungi masyarakat dan asetnya tentu saja untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hukum yang sangat dimungkinkan terjadi. 

Keempat, skill capacity. Ini penting untuk setiap dari diri kita, karena aka nada banyak sekali pekerjaa yang hilang, tergusur dan tergantikan dengan teknologi dan bukan tidak mungkin sudah terjadi. Jika dulu kita temukan percetakan berbagai buku dan koran yang mampu menghidupi banyak pekerja, kini berganti dengan soft-file data dan layout media. Pekerjaan sebagai seniman, content creator, ekonom akan beralih di dunia metaverse.

Kelima, self-confidence. Percaya pada diri kita, bahwa kita adalah manusia yang menjadi karya Tuhan YME, dengan technology yang paling canggih. Hati, tentu tak dapat digantikan dengan metaverse. Bagaimana berempati tentu tak bisa diperankan oleh Avatar kita. Kepercayaan diri adalah kunci bahwa kita memiliki kemampuan, mengembangkan diri, mempertahankan diri dan modalitas untuk menjadi human being dalam dunia nyata yang masih merasakan haus dan lapar, dimana tentu saja hingga hari ini kebutuhan pangan ‘food and beverage’ belum bisa tergantikan oleh metaverse technology.

Sumber: