Pria Tua di Seberang Jalanan
Petang kemarin, ia beranjak selain pukul 3 pagi untuk pulang. Ia mengahampiri toko kue ku dan membeli sepotong roti, roti yang baru selesai kupanggang. Dengan asap yang masih mengepul, ia memilih itu. Roti paling rapi yang kutata petang ini.
Aku menyapanya dengan hangat, karena ini pertama kalinya aku berbicara dengannya dan bertingkah biasa seolah ini pertama kalinya aku melihatnya. Melayani sebagai pelanggan walau sesungguhnya aku amat ingin mengajaknya duduk bersama dan berbincang sedikit.
Bukan masalah khawatir, aku tahu jika aku bertanya, jawabannya pun akan sama seperti jawaban yang diterima orang orang yang pernah bertanya padanya.Pria tua ini sungguh hebat, aku ingin mendapat pelajaran baru. Aku ingin tahu apa yang ditunggunya hingga menjadi seperti ini.
Mungkin dapat dikatakan, aku penasaran padanya. Pada pria tua diseberang jalan.
Namun diluar kendali, saat ia nyaris pergi, aku menambahkan sepotong roti kesukaanku kedalam plastik belanjaannya. Dan entah dorongan dari mana, bibirku otomatis dengan tak dapat ditahan bertanya.
Bertanya dengan hal yang sama, pertanyaan yang dilontarkan semua orang yang sebelum sebelumnya padanya.
Aku merutuki diri, betapa bodohnya tak dapat mengendalikan diri.
Aku terkejut, karena yang kudengar bukanlah tolakan ringan. Namun masih dengan senyum hangat yang melengkung di gurat wajah tuanya, hingga matanya melengkung tertutup terlukis bagai sabit samar yang sudah mulai menampakkan diri di langit petang ini.
Melainkan sebuah jawaban yang dicari semua orang yang memperhatikannya selama ini.
“Karena pada pukul 3 pagi, aku kehilangan dirinya disana. Tak pantas aku pergi, tak pantas aku menyerah. Aku hanya pantas menunggu untuknya.”
Aku masih berusaha mencerna, karena seluruh pertanyaan dan kebingungan langsung datang bagai pesan yang menganggu kala menelaah setiap kata dari jawaban yang diberikan, membuat diri semakin penasaran dengan jawaban yang lebih pasti. Namun jawaban yang diberikannya hanya itu, tanpa penjelasan, seolah menyuruhku mencari tahu sendiri mengenai kisahnya, karena yang ia berikan hanya jawaban, bukan pertanyaan yang ditunggunya untuk dijawab selama ini.
Menjawab seperti itu lalu mulai melangkahkan kakinya untuk pergi, membuka pintu kaca toko dengan langkah kaki lambat yang sedikit terseok.
“Hati hati, pak.”
Meski aku tak mendapatkan jawaban yang tidak kumengerti, atau belum, hanya itu kata yang dapat keluar dari bibirku—diantara otak dan batinku yang masih tengah mencerna setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Ia membalas dengan senyum, lagi, dengan hangat. Seolah memberi tahu bahwa ia akan datang lagi dalam waktu yang sama.
Sumber: