Dibalik Secangkir Kopi Nikmat, Ada Perempuan Petani & Barista Hebat

Dibalik Secangkir Kopi Nikmat, Ada Perempuan Petani & Barista Hebat

JEKTV.CO.ID - Minggu lalu, saat berada di sebuah kafe di Jambi, ada pemandangan yang sangat menarik. Bagaimana tidak, barista sang peracik kopi yang biasanya digandrungi secara profesi oleh laki-laki, kini juga digandrungi oleh perempuan. Perempuan ini tidak canggung sama sekali, meskipun harus melayani berbagai pesanan yang notabene customernya adalah laki-laki. Bahkan tak jarang, Harika Lifanasari sang ‘lady roaster’ di Etalase Coffee ini, sambil senyum saat meracik kopi. Menurutnya dengan senyuman bisa menambah keanggunan perempuan dan justru mendorong perempuan semakin banyak yang nantinya ikut merasakan nikmatnya sajian secangkir kopi dengan suasana kafe yang nyaman dan hangat.

Perempuan, kopi, barista dan kafe memang tak bisa dipisahkan dari sejarahnya. Kopi misalnya memiliki sejarah yang Panjang akan keterkaitannya dengan perempuan. Kiva Han, salah satu kedai kopi pertama di dunia yang berdiri pada 1475 menyebutkan bahwa Kopi menjadi obat mengatasi kram pada perempuan yang dating bulan. Saking trend nya, bahkan terdapat aturan di Turki yang menyatakan perempuan berhak menceraikan sang suami jika tak memenuhi kebutuhan kopi sang istri setiap harinya. Luar biasa bukan.

Lain di Turki, lain di Inggris. Justru di tahun 1674, para perempuan di sini menunjukkan protesnya dengan sebuah petisi ‘the Womens Petition Against Coffee’. Meski hingga kini tak diketahui apa yang menyebabkan perempaun ini menyatakan perlawanannya terhadap kopi. Justru di Jerman, di tahun 1743, para laki-laki menentang perempuan meminum kopi apalagi mendatangi kedai Kaffee-Kantante yang menjadi kafe dengan sajian music pertama oleh composer Johann Sebastian Bach.

Elizabeth Dakin dan William membuat roaster yang dilapisi emas, perak platinum dengan pemanggangnya berbentuk silinder di tahun 1847-1848. Penemuan ini disusul dengan temuan Melitta Bentz, yang merupakan ibu rumah tangga dari Dresden yang dikenal dengan filter kopi dan menjadi trend diberbagai negara.

Pencetak sejarah lainnya adalah Karen Cebreros & Kimberly Easson, yang melakukan coffee trip pertama di dunia pada 2003 yang diikuti oleh para perempuan diberbagai negara ke Nikaragua dan Kosta Rika. Perjalanan ini bahkan mendorong berdirinya Internationa; Women’s Coffee Alliance (IWCA) yang membantu networking perempuan dalam mempromosikan dan menjadi jembatan perempuan komunitas kopi di seluruh dunia. Di tahun yang yang sama, di ajang US Barista Championship, Heather Perry dari California berhasil menyabet gelar sebagai barista perempuan pertama di internasional.

Perempuan Indonesia Pemberdaya Kopi

Tingginya minat terhadap kopi Indonesia turut membuka berbagai peluang bisnis, termasuk menjamurnya kafe dan juga peran sebagai petani kopi. Berdasarkan data International Coffee Organizatiion (ICO) 2019, Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah petani kopi sebanyak 1,3 juta jiwa. Sedangkan, urutan pertama dan kedua diduduki Ethiopia dengan 2,2 juta rumah tangga petani kopi dan Uganda dengan 1,7 juta petani. Dari 1,3 petani kopi di Indonesia, justru mayoritas peran dalam aktivitas di kebun dilakukan oleh para perempuan.

Namun, sebagai penikmat kopi, pernahkah kita berfikir dari mana asal kopi yang kita minum? Siapa yang mengantarkan minuman istimewa ini hingga di tangan kita? Mungkin sempat terlintas namun kita tidak secara spesifik akan memikirkannya. Dalam keseharian masyarakat Indonesia dari Aceh hingga Jawa akan banyak sekali kita jumpai perempuan-perempuan yang mengabdikan dirinya sebagai petani kopi dengan tetap setia mendampingi suami.

Mak Ade, biasa akrab dipanggil merupakan salah satu perempuan petani kopi yang merupakan generasi kedua. Mak Ade telah membudidayakan kopi secara turun temurun dari keluarganya, bahkan mungkin sudah lebih dari seperempat abad (25 tahun) ia mengelola lahannya secara keseluruhan yang ada di Desa Rantau Kermas, Jangkat, Merangin dengan kopi. Dengan telaten ia bahkan menjelaskan bagaimana kopi dari proses penanaman, hingga perawatan dan pemetikan cherry merah yang berkualitas dari biji kopi. Kopi inilah yang turut menopanh kehidupan Mak Ade dan keluarganya, bahkan ketika ia harus kehilangan suaminya.

Mak Cha juga termasuk perempuan Tangguh di desa ini. Berharap dengan kopi yang menjadi rutinitasnya hingga menjadikannya bubuk kopi premium Serampas. Mak Cha tak sendiri tentu saja, dalam melakukan shortir biji yang berkualitas ia bersama dengan perempuan-perempuan desa lainnya.

Ella Dini, generasi muda perempuan yang juga berada di area Jangkat. Dini begitu akrab disaapa, tak ragu menekuni kebun kopinya, hingga produksi dan pemasaran. Dini kini menikmati hasilnya dimana Kopi Jangkat Merangin semakin digemari dan dikenali oleh masyarakat Jambi hingga Indonesia sejak menjuarai ajang Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) Expo 2018 di Bali. Dini juga tak ragu, untuk menggunakan teknologi sederhana yang digunakan dalam pengolahan kopi hingga mampu meningkatkan kualitas rasa premium yang digemari oleh pasar.

Tak hanya dari Jambi, pergerakan kopi dan perempuan sebagai permberdayanya juga ada di Jawa dan Bali dimana mereka mampu memproduksi lebih dari setengah makanan dan menjalankan 60% dari total pekerjaan, namun menghasilkan kurang dari 10% dari pendapatan dan memiliki kurang dari 1% tanah. Ini artinya perempuan dianggap mampu memberdayakan pertanian, terutama dalam perkebunan kopi dimana 90% hasil pengelolaannya akan dikembalikan sebagai investasi dalam keluarganya.

Daya lenting kopi yang mampu mendobrak tradisi, kini dirasakan oleh perempuan di Indonesia sebagai perubahan signifikan. Konstruksi gender mampu dibuktikan dengan penyajian secangkir kopi yang kini juga diperankan oleh para barista perempuan dengan pesona cantiknya, tak hanya sebagai lambang kecantikan pesona alam Indonesia, namun juga kopi itu sendiri yang menjadi komoditi utama Indonesia dari Aceh, Sumatera, Bali, Jawa Barat, Toraja, dan Papua. Inilah yang menempatkan Indonesia sebagai penghasil kopi terbesar setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Nilai ekspor kopi Indonesia juga naik, dari 674.636 ton di tahun 2018, mencapai 753.941 ton di 2020 dan 765.415 ton pada 2021 yang mencapai US$ 40,19 juta hingga Februari 2021 (AEKI, 2021).

Jadi, kamu para perempuan, jangan ragu. Dengan menikmati secangkir kopi di café fovorit kalian, kalian bisa ikut serta dalam mendukung tumbuhnya para barista perempuan, membantu para petani kopi, dimana perempuan dalah kunci food security system bagi seluruh manusia. Tak hanya itu, kamu juga membantu perempuan untuk lebih berdaya, sekaligus menjadikan kamu bisa melakukan aktualisasi diri dan merekonstruksi Kembali melalui ikatan sejarah antara kopi dan perempuan. Karena kita tahu bahwa perempuan akan lebih berdaya dalam perannya, baik sebagai petani kopi maupun barista dengan dukungan kita. Mengutip quotes Java Mountain Coffee, salah satu social enterprise yang fokus pada pemberdayaan perempuan petani di Jawa dan Bali, "We know now that without gender equality and a full role for women in society, in the economy, in governance, we will not be able to achieve the world we hoped for." 

Sumber: