Pandemi Bagi yang Belum Divaksin
Wednesday, 21 Juli 2021
"Tenang Mas. Indonesia sudah bukan lagi nomor satu. Kita sudah nomor dua." Begitu tulis seorang teman saya di grup WA. Sambil meng-attach data klasemen penyebaran pandemi di dunia, Senin kemarin (19 Juli).
Tertulis United Kingdon (Inggris Raya) nomor satu dengan 48 ribu lebih kasus baru. Indonesia nomor dua dengan hampir 45 ribu. Sementara India melengkapi "podium" dengan angka lebih dari 38 ribu kasus baru.
Tentu dia menyampaikannya dengan setengah bercanda, bahkan dengan "bau-bau" sarcasm. Karena angka, kalau tidak bisa membacanya dengan jernih, atau menginterpretasikannya secara logis, bisa disalahtafsirkan dan dipermainkan.
Apalagi, saat ini, perang utama pandemi di negara kita sepertinya bukan perang melawan virus itu dan penyebarannya. Ada perang yang lebih bisa bikin frustrasi: Perang melawan pemahaman masyarakat, perang melawan kebijakan-kebijakan yang dibuat berdasarkan pertimbangan sosmed atau politik.
Di saat banyak negara sudah punya road map, kita masih terus berkutat dengan debat kusir.
Beberapa hari ini, perhatian dunia memang tertuju ke Inggris. Saya memberi perhatian khusus ekstra, karena Grand Prix Inggris diselenggarakan di sana akhir pekan lalu (16-18 Juli). Balapan yang penuh drama, karena diterapkannya format baru kualifikasi dan start yang berbumbu kontroversi. Plus, balapan yang jadi "eksperimen" pemerintah Inggris, dengan diizinkannya penonton kapasitas penuh. Lebih dari 110 ribu penonton memadati Sirkuit Silverstone, hampir semua tidak perlu bermasker.
Melanjutkan Wimbledon dan Euro, yang juga seru berpenonton. Dan sejak 19 Juli, Inggris resmi "bebas." Membiarkan warganya bebas tanpa masker, dengan hampir segala aktivitas kembali normal.
Bahwa jumlah infeksi di Inggris mendekati angka 50 ribu, itu sudah diprediksi. Juga diantisipasikan. Bahkan, para ilmuwan di Inggris menyebut pada Agustus nanti jumlah kasus per hari bisa menyentuh angka 200 ribu.
Meski demikian, angka 200 ribu itu bukan lagi angka yang "menakutkan." Karena Inggris sudah melewati fase itu. Karena ketika 68 persen orang dewasa di Inggris sudah divaksinasi (88 persen sudah minimal sekali suntik), maka jumlah 200 ribu itu bukan lagi ancaman mengerikan. Karena yang akan sakit parah, membebani rumah sakit, dan yang meninggal, sudah tidak lagi "spektakuler."
Silakan lihat data Senin lalu itu. Dari 48 ribuan kasus di Inggris, hanya 25 yang meninggal. Data Indonesia, dari 44 ribuan kasus, lebih dari 1.000 yang meninggal.
Saya lalu penasaran dengan angka di Amerika. Angkanya 9.000-an kasus, meninggal 31. Di sana angka vaksinasi sudah mendekati 70 persen. Walau ada lonjakan karena Delta Force, pemerintahnya tetap tenang, tidak ada kebijakan khusus. Bahkan belum merekomendasikan booster vaksin. Hanya beberapa negara bagian, seperti California, yang kembali mengharuskan pemakaian masker di tempat-tempat indoor. Kalau outdoor masih bebas.
Kembali ke Inggris, "disengajanya" pelonggaran aturan sekarang ini juga karena menghitung potensi ke depan. Chief Medical Officer di sana, Prof Chris Whitty, lewat BBC mengatakan bahwa angka kasus pasti akan naik ketika aturan baru dilonggarkan. Itu manusiawi, orang baru merasakan kebebasan. Sekarang tinggal melihat "kesaktian" vaksin dalam membendung jumlah kematian dan beban rumah sakit.
Sumber: