DISWAY: Sulit Vaksin

DISWAY: Sulit Vaksin

Brandenburg tidak menyebut chip sebagai alasan. Tapi soal berubahnya DNA manusia tadi. Ia tidak menyebut apakah perubahan itu akan berakibat dari percaya Tuhan menjadi tidak percaya. Lalu orang yang dimasuki chip tadi, kelak, di akhirat, akan muncul tanda 666 di kening mereka. Dengan melihat kening bertanda itu pekerjaan malaikat menjadi lebih mudah: mereka yang bertanda itulah yang harus masuk neraka.

Brandenburg menunggu sidang berikutnya 19 Januari depan. Sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium: apakah vaksin yang dionggokkan di lantai tersebut benar-benar rusak. Pun seandainya tidak, ia tetap akan dianggap melanggar hukum. Dengan kadar lebih ringan.

Yang seperti itu pasti sangat minoritas. Tidak boleh membuat energi habis untuk mengurusnya. Yang penting pandemi ini harus selesai. Toh tidak ditemukan cara lain untuk mengatasinya.

BPOM benar memberikan keterangan bahwa vaksin belum boleh disuntikkan. BPOM belum mengeluarkan izin. Tapi mulai mendistribusikan vaksin itu ke daerah adalah tepat. Mendistribusikan tidak sama dengan menyuntikkan.

Dengan lebih awal mendistribusikannya, waktu bisa lebih dihemat. Bahwa, misalnya, izin tidak keluar kan tidak masalah.

Kita berpacu dengan waktu dan nyawa.

Toh izin itu hampir pasti akan keluar. Sampai hari ini tidak ada laporan dampak negatif dari uji coba tahap tiga di Bandung. Maka selamat datang vaksinasi.

Berpacu dengan waktu itu lebih terasa di Inggris. Misalkan tersedia 1 juta vaksin. Apakah itu akan dipakai menyuntik 500 orang (dua kali suntik) atau untuk 1 juta orang. Agar lebih banyak yang segera disuntik. Agar lebih cepat terjadi herd immunity.

Inggris memutuskan: untuk satu juta orang.

Bagaimana dengan suntikan kedua?

"Dilakukan nanti saja. Tiga bulan kemudian. Setelah datang vaksin berikutnya".

Cara berpacu seperti itu tidak pernah terpikirkan. Terutama oleh ilmuwan.

Maka di mana-mana cara Inggris itu dibicarakan. Tentu ada yang setuju dan ada yang tidak.

Tapi dahsyatnya Covid-19, terutama di Inggris, telah memaksa pikiran seperti itu pun muncul. (Dahlan Iskan)

Sumber: