Kekerasan di Sekolah Mengkhawatirkan
Sabtu 19-12-2020,09:57 WIB
Irjen Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang meminta, Pemda dan sekolah harus mampu membentuk tim pencegahan dan penanggulangan kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Semua sekolah harus punya tim pencegahan kekerasan yang terdiri dari anak-anak, orang tua, guru, jadi semua terlibat,” kata Chatarina dalam acara Festival Hak Asasi Manusia (HAM) 2020 yang digelar secara virtual, Jumat, (18/12).
Menurut Chatarina, ketika pencegahan dilakukan bersama-sama, maka kampanye anti kekerasan akan semakin kuat. Untuk itu, kampanye anti kekerasan mesti digalakkan.
“Banyak dari warga pendidikan, utamanya siswa, tidak merasa mereka menjadi korban kekerasan,” ujarnya.
Chatarina menambahkan, setelah tim pencegahan tersebut sudah terbentuk, baiknya diperkuat dengan penerapan sanksi bagi siswa pelaku kekerasan di sekolah. Sanksi pun harus dibuat sekreatif mungkin. Artinya, sanksi yang diberikan bukan malah menjadikan siswa memiliki rasa dendam.
“Ketika anak berkelahi kemudian merusak bangku, harusnya sanksinya memperbaiki bangku, bukan malah disuruh berlari keliling lapangan,” terangnya.
“Sanksi yang membuat siswa malu atau medatangkan dendam tidak akan memberikan efek jera. Makanya, sanksi yang diberikan harus bersifat kreatif,” imbuhnya.
Terlebih Chatarina menekankan, bahwa dalam menerapkan sanksi untuk menanggulangi permasalahan tersebut, sekolah jangan sampai mengambil hak pendidikan anak. Contohnya, memberikan skorsing atau tidak mengizinkan anak datang ke sekolah.
“Justru kalau tidak diberi ruang di sekolah akhirnya mereka malah melakukan pelanggaran lainnya di luar sekolah. Jadi jangan sampai menanggulangi kekerasan menghilangkan hak dasar mereka untuk mendapatkan pendidikan,” tuturnya.
Menurut Chatarina, terkait permasalahan ini, sekolah juga harus lebih jeli melihat prilaku peserta didik. Artinya, sekolah dapat mencari tahu mengapa seorang siswa melakukan kekerasan, bahkan berulang-ulang.
“Lingkungan sosial dan rumah sangat berpengaruh. Apakah mereka mendapat kekerasan dari orang tuanya di rumah. Sebab, prilaku seperti itu kadang membuat anak membalas kekerasan yang mereka dapatkan lalu dibawa kesekolah,” tuturnya.
Anehnya lagi, kata Chatarina, kerap juga ditemukan kekerasan di dunia pendidikan yang melibatkan orang tua siswa dan terdapat pula kekerasan siswa kepada guru.
“Semakin banyak yang mengkhawatirkan ada dari guru ke siswa malah siswa ke guru juga ada, lalu orang tua ke guru. ini fenomena yang mengherankan,” ujarnya.
Dengan segala rupa kejadian tersebut, Chatarina menganggap tindak kekerasan di sekolah menjadi krusial untuk segera diselesaikan. Ia berharap, segala tindakan kekerasan dapat diminimalisir dari guru.
“Guru harus menjadi orang dewasa yang ada disekolah. Guru harusnya bisa memperhatikan beberapa perubahan pada anak sehingga bisa meminimalisisr potensi yang lebih membahayakan,” tuturnya.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri menilai, jika tindak kekerasan masih terjadi di sekolah, maka program Merdeka Belajar tidak akan terwujud.
“Penghapusan kekerasan itu masih menjadi pekerjaan rumah (PR) dunia pendidikan,” kata Jumeri.
Kendati demikian, Jumeri berkomitmen untuk menjamin hak atas rasa aman di dunia pendidikan dari kekerasan di sekolah dan perguruan tinggi.
“Ini sebagai bentuk nyata yang harus dilakukan seluruh pihak guna menjamin agar seluruh warga satuan pendidikan tidak hanya memperoleh layanan pendidikan secara aman dan terhindar dari segala bentuk kekerasan selama menikmati layanan pendidikan,” pungkasnya.
Sumber: