Akhir Era Ketua Umum

Akhir Era Ketua Umum

Seorang CEO akan tahu, bahwa kepastian jadwal, kepastian regulasi, dan berbagai kepastian adalah kunci untuk kemajuan. Dan CEO tahu itu bukan sekadar dalam tahap tataran. Melainkan sampai tahap praktis pelaksanaan.

Seorang CEO tidak akan khawatir dengan image pribadinya di depan publik. Karena ini jabatan profesional. Bukan jabatan untuk menuju jabatan yang lain.

Tentu saja, jauh lebih mudah bagi saya untuk menulis ini daripada penerapannya nanti. Apalagi untuk negara seperti di Indonesia. Di mana seorang ketua umum nasional seringkali harus dipilih oleh "ketua umum-ketua umum" lain di level provinsi dan/atau kota.

Kalau di level terendahnya saja sudah bukan jabatan profesional, bagaimana mereka bisa tahu bagaimana memilih CEO level nasional?

Dan jangan lupa, untuk memilih CEO level nasional itu syaratnya harus jelas. Kalau di negara maju, CEO federasi biasanya sudah punya pengalaman panjang MENGELOLA PERUSAHAAN. Khususnya perusahaan yang terkait dunia olahraga. Tidak harus olahraga yang sama, tapi olahraga.

Alangkah mengerikannya yang terjadi di Indonesia selama ini. Entah berapa puluh kali, atau berapa ratus kali, terpilih "ketua umum" yang sebenarnya tidak mengerti olahraganya. Lebih parah lagi, kadang juga tidak mengerti bagaimana mengelola perusahaan, karena background-nya dari dunia politik atau sekitarnya.

Tidak jarang, ketua umum-ketua umum itu mengaku terus terang kalau mereka tidak tahu dunia olahraga yang dia pimpin!

Entah berapa kali sudah kita mentolerir yang seperti ini. Kita sering mencoba menghibur diri. Misalnya dengan berharap bahwa walau ketua umum itu mungkin memang tidak mengerti, tapi dia mau belajar dan kemudian bisa berbuat baik untuk olahraga itu.

Kalau kita memilih CEO, ini pasti tidak terjadi. Karena seorang CEO harus tahu betul dunianya. Seseorang di jabatan tertinggi tidak boleh lagi "belajar." Dia sudah harus bisa mengaplikasikan visi dan langsung berbuat baik untuk organisasi, anggota, dan olahraganya.

Jabatan tertinggi kok belajar...

Mungkin, karena begitu mengakarnya sudah pola pengelolaan olahraga di Indonesia, banyak pembaca yang tidak paham dengan maksud saya di atas. Terus terang, mengenai ketua umum atau CEO ini sebenarnya juga tidak langsung tercetus dari kepala saya sendiri.

Dulu, saya pernah ditawari seorang pengusaha besar untuk mengelola sebuah federasi olahraga. Kebetulan saya pernah aktif di olahraga itu, dan waktu kecil pernah tergabung dalam klubnya selama beberapa tahun.

Ketika saya tanya kenapa dia meminta saya, dia menjawab kalau olahraganya butuh CEO, bukan ketua umum. Dia bilang, uang di olahraganya bukan masalah. Yang masalah adalah mencari orang yang bisa mengelola uang itu, menggunakannya secara strategis sehingga olahraganya jadi lebih besar lagi. Bahkan bisa mengelola uang itu untuk menambah lagi uang yang masuk ke olahraga itu. Bukan sekadar ketua umum yang bingung cari uang, atau bahkan minta-minta uang. Dan sekaya apa pun ketua umum itu, tidak mungkin dia "menyumbangkan" seluruh uangnya untuk olahraga itu.

Waktu itu, saya menolak tawaran tersebut. Bukan karena tidak mau atau merasa tidak mampu. Melainkan pada momen yang sama, saya baru saja setuju menyelamatkan liga basket tertinggi di Indonesia waktu itu. Saya ingin fokus pada hal itu.

Anyway, kalau Anda memahami maksud tulisan saya, mari kita semua berdoa. Semoga setelah 2020, ada kesadaran di mana lebih banyak orang memilih CEO, bukan ketua umum. Dari level terendah sampai nasional.

Sumber: