Porang Kultur Jaringan

Porang Kultur Jaringan

Oleh: Dahlan Iskan

PUN tanpa omnibus law. Saya sudah mendengar ada investor besar yang ingin menanam porang di Indonesia. Investor asing. Dengan skala ribuan hektare.

Saya pun langsung ingat petani-petani kecil porang di lereng-lereng gunung. Yang baru lima  tahun terakhir menunjukkan gairah yang tinggi untuk mengembangkan tanaman porang.

Adakah kegairahan itu akan segera sirna oleh kapitalisme besar?

Saya pun mulai mendengar bahwa pembenihan porang sudah bisa dilakukan secara kultur jaringan. Berarti era perkebunan besar porang segera datang.

“Tim kami sudah berhasil mengembangkan pembibitan porang dengan kultur jaringan,” ujar Heppy Trenggono.

Ia seorang pengusaha besar. Yang juga seorang aktivis Islam. Pernah juga jadi direktur La Tivi. Lalu beralih ke bisnis. Salah satunya perkebunan kelapa sawit.

Minggu lalu saya menghadiri  satu forum ulama dan habaib  yang tertarik bergiat di bidang pertanian. Yakni di pondok pesantren Riyadlul Jannah, Pacet, Mojokerto. Pondok besar itu dipimpin KH. Mahfudz Syaubari.

Hadir juga di situ Heppy Trenggono. Dalam posisinya sebagai presiden Indonesian Islamic Business Forum (IIBF). Ia adalah pendiri YP3I bersama Kyai Mahfuds Syaubari, Marzuki Alie, Prof Ahmad Zahro, dan alm Gus Sholah.

Rupanya ia tahu bahwa saya sering memperhatikan porang. Maka soal kultur jaringan itu ia sampaikan di forum ulama tersebut.

Sebenarnya topik pertemuan hari itu bukan porang. Para ulama itu lagi membahas gerakan tani dari pesantren. Termasuk gerakan santri tani.

Beberapa profesor ahli pertanian ikut hadir di forum Jumat lalu itu.

Kiai Mahfudz-lah yang punya gagasan santri tani itu. Saya akan menuliskannya secara khusus kelak, setelah program ini sukses.

Kalau benar bahwa pembibitan porang sudah bisa dilakukan secara kultur jaringan, maka porang akan memasuki babak baru: kapitalisme. Siapa pun akan bisa menanam porang dalam skala besar.

Sumber: