Disway: Superholding
Artinya: laporan keuangannya harus dibuka sampai sejauh itu. Demikian juga proses manajemennya –termasuk proses rekrutmen pimpinan perusahaan.
Setelah tahu begitu tinggi tingkat ptofesionalitas Temasek itu emosi saya pun turun. Apalagi setelah menyadari budaya kita kurang lebih sama dengan orang Malaysia.
Saya pun memilih untuk BUMN Indonesia sebaiknya campur tangan politik dulu yang dikurangi.
Holding-isasi perlu. Tapi untuk hanya ada satu holding BUMN rasanya masih terlalu jauh.
Katakanlah pemerintah kita mampu menyelesaikan pembentukan superholding itu lewat omnibus law. Tapi apakah campur tangan politik bisa hilang? Atau justru akan menjadi seperti Khazanah?
Bagi saya kalau bisa ada 17 holding saja sudah sangat baik. Menteri BUMN –kalau masih akan disebut menteri– hanya membina 17 perusahaan. Tidak sampai mengurus lebih dari 100 perusahaan seperti selama ini.
Tapi itu pun tidak terlalu penting. Yang penting adalah dibebaskannya dari pengaruh politik tadi. Ini 'dalam' sekali. Menyangkut UU Keuangan Negara –di mana kerugian BUMN merupakan kerugian negara. Juga menyangkut audit. Termasuk bagaimana sebuah perusahaan harus sering berurusan dengan DPR.
Waktu ada ide pembentukan holding dulu salah satu alasannya adalah: agar BUMN yang tergabung dalam holding berubah status menjadi anak perusahaan. Dengan demikian statusnya bukan lagi BUMN. Berarti terbebas dari proses politik.
Alasan itu gagal total. Perlakuan politik kepada anak perusahaan BUMN tidak ada bedanya dengan BUMN.
Maka pada dasarnya BUMN itu bukan perusahaan. Biar pun ada superholding kalau perlakuan politik kepada anak-anak superholding itu tidak berubah justru akan lebih buruk dari Khazanah.
Perusahaan yang tidak dikelola secara perusahaan adalah bukan perusahaan. Itulah BUMN. Pakai superholding atau pun tidak. (Dahlan Iskan)
Sumber: