Daya Beli Sapi Potong di Masa Pandemi Turun
JAKARTA – Pandemi Covid-19 tidak hanya mengubah angka pangan kita turun secara berimbas. Hal yang menjadi sorotan adalah sektor pertanian yang melambat. Sektor ini tumbuh stagnan di kuartal I (Q1) 2020, yaitu sebesar 0,02 persen melambat dari Q1 2019 yang masih tumbuh sebesar 1,82 persen.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Didiek Purwanto , mengatakan di masa pandemi Covid-19, sektor peternakan hanya tumbuh 2,86 persen melambat dari Q1 2019 yang tumbuh 7,96 persen. Begitu pula dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi ditemukan kesenjangan yang luar biasa.
“Kebutuhan daging nasional sebesar 650.000 ton per tahun atau setara 3,8-3,9 juta ekor, sementara itu jumlah populasi sapi potong hingga tahun 2019 hanya sebanyak 17.118.650 ekor,” katanya.
Ketidakmampuan produksi lokal dalam memenuhi kebutuhan daging nasional, menurut Didiek, disebabkan belum tuntasnya beberapa permasalahan. Diantaranya permasalahan makin tingginya gap antara supply dan demand, arah pembangunan yang belum jelas, ego kedaerahan setelah adanya otonomi daerah, dan belum berubahnya pola beternak.
“Di masa pandemi ini keadaan diperparah dengan harga sapi di Q1 mencapai USD 3/kg/hidup, nilai tukar rupiah Q1 menembus 16.500 rupiah bahkan sampai 17.000 rupiah. Daya beli turun secara signifikan, biaya operasional meningkat karena meningkatnya harga bahan baku pakan, dan tata niaga dan logistik terhambat karena penerapan PSBB di beberapa daerah di Australia,” paparnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Didiek mengusulkan beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Pertama, adanya arah pembangunan peternakan yang terstruktur dan sustainable. Diharapkan pula memiliki kesamaan bahasa serta partisipatif aktif semua stakeholder untuk pemberdayaan dan perlindungan peternak lokal.
Kedua, harmonisasi regulasi interdepartemen yang sejalan dengan perundangan dan PP. Ketiga, inventaris dan optimalisasi sumber daya lokal potensial, infrastruktur informasi dan teknologi harus ada di daerah.
“Selain itu, peternakan harus dibangun berdasarkan klasterisasi atau spasialisasi sebuah wilayah, pembiayaan dan kebijakan fiskal yang mendukung serta skema pembiayaan yang efektif dan efisien. Segera pula disusun konsep tata ruang pengembangan industri, struktur sistem agribisnis, kesehatan hewan dan veteriner dan membangun peternakan berorientasi industri dan integrated dengan memperhatikan tuntutan era globalisasi dan industri 4.0,” ucapnya.
Terkait ini, ia pun memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya mereka yang terlibat bidang ini untuk memilih ternak yang adaptif dengan lingkungan lokal, dan membangun padang penggembalaan yang produktif. Juga mengoptimalkan sumber pakan lokal dengan strategi suplementasi, dan menghentikan kebijakan yang kontra produktif dengan pembangunan peternakan yang berkelanjutan.
“Sangat diperlukan kolaborasi produktif antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, serta komunitas, arah pembangunan yang jelas terarah melalui pengkajian data yang seksama, dan menentukan pola pengembangan peternakan yang sesuai dengan kondisi Indonesia,” tuturnya.
Dosen Fakultas Peternakan UGM, Ir Panjono, menambahkan sebelum pandemi, industri sapi potong mengalami banyak tekanan, khususnya adanya persaingan dengan daging impor. Pada awal pandemi, industri sapi potong mengalami kesulitan baik dalam hal pengadaan sarana produksi peternakan, khususnya bakalan dan pakan, kenaikan biaya distribusi, dan penurunan omzet karena berkurangnya kegiatan yang membutuhkan banyak daging.
“Selain itu, pandemi juga berdampak negatif terhadap industri sapi potong karena turunnya daya beli masyarakat,” katanya.
Menurut Panjono, situasi sulit di masa pandemi ini dapat diatasi dengan penerapan protokol kesehatan, efisiensi produksi, inovasi produk melalui pengolahan hasil, dan inovasi pemasaran secara daring. Pengolahan hasil, khususnya produk olahan beku, akan meningkatkan daya simpan dan mendekatkan industri ke konsumen akhir sehingga meningkatkan jangkauan pasar.
“Kita semua berharap agar kondisi industri sapi potong segera membaik. Terlebih adanya relaksasi Permentan No. 41 Tahun 2019 terkait kewajiban memasukkan indukan sebanyak 5 persen, dan kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) terkait bea masuk yang sudah berjalan,” tandasnya. (fin/tgr)
Sumber: