jektvnews.com - Dikutip dari Tulisan NU Online, dijelaskan bahwa, ada seseorang ingin berencana membuat satu usaha produksi air minum dalam kemasan, namun karena terkendala tempat pengolahan, sumber air serta sarana dan prasarana.
Kemudian, seseorang tersebut berencana ingin bekerja sama dengan pengurus masjid setempat untuk menggunakan fasilitas yang ada di masjid itu.
Meliputi; sumur bor sebagai sumber air beserta mesin airnya, listrik, dan bekas rumah marbot (penjaga) masjid yang tidak terpakai sebagai calon tempat produksi dan pengolahan air.
Selanjutnya hasil usaha dari kerja sama kedua belah pihak ini nantinya akan dibagi dua setelah dipotong modal, biaya operasional, dan upah karyawan.
Dijelaskan dalam tulisan NU Online, oleh Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, yang merupakan mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir bahwa, pada dasarnya, barang yang telah diwakafkan maka terputus kepemilikannya secara personal atau golongan tertentu dan menjadi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Baca Juga : sejarah awal perayaan cap go meh dan awal mula cap go meh di indonesia
Diungkapkan sebagaimana kisah sahabat Umar bin Khattab:
عن ابن عمر أن عمر أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمرني به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها.فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف ولا جناح على وليها أن يأكل منها بالمعروف.
Artinya, “Diceritakan dari Ibnu Umar bahwa shahabat Umar mendapatkan sebidang tanah di daerah Khaibar. Kemudian, ia mendatangi Rasulullah untuk meminta arahan. Ia mengatakan ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di daerah Khaibar, aku tidak melihat harta yang lebih indah darinya, lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?’
Rasulullah bersabda ‘Kalau engkau menghendaki maka tahanlah pokoknya dan bersedekahlah dengannya.’ Maka, Umar bin Khattab tidak menjualnya, tidak menghadiahkannya, tidak mewariskannya, dan ia bersedekah dengannya untuk orang-orang fakir, sanak kerabat, memerdekakan budak, meluhurkan agama Allah, orang-orang yang dalam perjalanan, serta tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya (harta wakaf) dengan cara yang baik,’ (HR Bukhari).
Dalam permasalahan kita ini, tanah yang digunakan sebagai masjid maka statusnya menjadi milik Allah yang tidak dapat dijual maupun dipindah-tangankan dan fasilitas yang ada di dalam masjid harus dimaksimalkan untuk kepentingan umum.
Kemudian, hal ini dikuatkan dengan firman Allah:
وأن المساجد لله فلا تدعو مع الله أحدا
Artinya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka, janganlah kamu menyembah apapun di dalamnya selain Allah,” (Qs.Al-Jinn: 18).
Lalu, bila suatu masjid memiliki sumber mata air yang dapat dimanfaatkan? Maka, nadzir (pengelola) masjid harus mengalokasikannya untuk kepentingan umum sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat serta yang paling dekat dengan tujuan wakaf pada umumnya.