Warga negara Indonesia (WNI) kembali menjadi korban penculikan di perairan Sabah, Malaysia. Berdasar informasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), lima di antara delapan awak kapal disandera.
”Sudah konfirmasi dari Konsul RI di Tawau bahwa benar terdapat lima awak kapal WNI yang bekerja di kapal ikan Malaysia hilang di perairan Tambisan, Lahad Datu,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Judha Nugraha Judha melalui pesan singkat kemarin.
Informasi penculikan berawal dari laporan hilangnya kapal ikan dengan nomor registrasi SSK 00543/F. Di dalam kapal tersebut terdapat delapan WNI. Kapal itu semula terlihat memasuki perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah, Malaysia, dari arah Filipina pada Jumat (17/1) pukul 21.10 waktu setempat. Namun, informasi terakhir, ada tiga awak kapal WNI yang akhirnya dilepaskan penculik. ”Lima awak kapal WNI lainnya dibawa kelompok penculik,” terangnya.
Juru Bicara Kemenlu Faizasyah menuturkan, perwakilan Indonesia di Sabah (Malaysia) dan Manila (Filipina) sudah bergerak untuk membebaskan lima WNI tersebut. KJRI di Kota Kinabalu, Konsulat RI di Tawau, dan Kedutaan Besar RI di Manila sedang berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk mengumpulkan informasi.
Faiza menyesalkan penculikan WNI di perairan Sabah kembali terulang. Pihaknya mengimbau para nelayan yang biasa mencari ikan di perairan tersebut untuk tidak melaut demi keamanan.
Pada bagian lain, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Sisriadi menyampaikan bahwa pihaknya baru mengetahui kabar tersebut dari media di Malaysia. Institusi militer tanah air, kata dia, belum mendapat informasi resmi dari pemerintah.
Sementara itu, menurut pakar militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, pemerintah bukan hanya kali ini berhadapan dengan persoalan serupa. Insiden itu mirip dengan korban penculikan kelompok Abu Sayyaf yang belum lama berhasil dibebaskan otoritas Filipina.
Walau belum disebut secara pasti kelompok mana yang menculik lima WNI tersebut, Fahmi yakin para penculik adalah kelompok Abu Sayyaf. Sebab, perairan Sabah memang wilayah operasi mereka. Yang jadi masalah, kata dia, pemerintah seperti tidak punya solusi. Itu tampak lantaran penculikan dengan modus serupa berulang terjadi. Bahkan di daerah yang berdekatan dengan lokasi penculikan dalam kasus-kasus sebelumnya.
”Aksi berulang di area dan dengan modus operandi yang kurang lebih sama ini tentu harus menjadi pijakan dalam pembicaraan trilateral,” tutur Fahmi. Pembicaraan trilateral itu melibatkan Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Dia tahu betul, sudah ada pembicaraan, bahkan kerja sama di antara tiga negara tersebut. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih ada masalah. ”Apakah semua kesepakatan dan komitmen trilateral sudah on the right track,” ujarnya.
Fahmi menilai hal itu patut jadi pertanyaan. Sebab, sudah banyak wacana dan rencana yang digagas. Namun, masih belum berjalan efektif. Melihat kondisi tersebut, dia menilai, mestinya pemerintah memastikan lagi apakah program kerja sama berjalan efektif atau tidak, terkendala atau tidak, serta berhasil atau sebaliknya.
Dia menyampaikan, kelompok Abu Sayyaf tidak bisa dilihat hanya sebagai gerombolan pengganggu keamanan di Filipina. Sebab, operasi yang mereka lakukan dalam menculik WNI bersentuhan dengan tiga negara sekaligus. ”Filipina sebagai basis, Malaysia sebagai area operasi, dan Indonesia sebagai negara yang warganya menjadi target,” terangnya. Karena itu, Fahmi menekankan, pemerintah harus melihat kondisi tersebut sebagai persoalan serius. ”Satu orang saja warga negara terancam keselamatannya, itu sudah menjadi persoalan besar,” tegasnya.
Karena itu, Fahmi menambahkan, pemerintah harus lebih serius. Kerja sama yang sudah ada harus dipastikan benar-benar berjalan efektif. Saat ini, lanjut dia, tantangan yang perlu jadi perhatian adalah mempersempit ruang gerak kelompok Abu Sayyaf. ”Dan bagaimana menekan pemerintah Malaysia untuk lebih serius menjaga perairannya. Percuma saja patroli-patroli digelar jika salah satu pihak kendur,” paparnya.