Sebab, di masa itu, siapa pun yang berusaha membawakan atraksi kesenian berbau budaya Cina bisa dituduh subversif. Jangankan di tempat publik, bahkan, di lingkungan sendiri pun, warga keturunan Cina sering dipersulit ketika akan menggelar upacara adat.
Penyebabnya adalah: Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang turut mengekang kebebasan warga keturunan Cina. Arief Budiman, seorang aktivis sekaligus akademisi yang banyak menyoroti persoalan sosial, menyatakan pangkal dari peraturan itu adalah rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kala itu, PKI punya hubungan erat dengan Republik Rakyat Cina. Kemudian atas dasar itu, kata Arief, Soeharto dengan sesuka hatinya mengidentikkan komunis dengan Cina. Padahal, itu adalah hal yang berbeda, tegas Arief.
Masih dalam buku itu, meskipun Inpres tersebut masih memperbolehkan pesta agama dan adat asal tidak mencolok dan digelar di lingkungan intern, namun pada praktiknya, aparat kantor sosial sering punya tafsir sendiri.
Berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno kala mementaskan Sampek Engtay pada tahun 1988 di Jakarta. Saat hendak mementaskan itu, ia nyaris dilarang badan intel. Menurut Riantiarno, yang hendak ia tampilkan adalah drama percintaan bukan cerita politik.
Izin akhirnya turun tetapi ada syarat yang tidak boleh dilakukan, yakni tidak boleh ada huruf Cina, tak boleh membakar hio, dan yang terakhir, liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung.
Hal itu masih jauh lebih beruntung daripada kejadian di Medan. Sebab, polisi melarang pentas itu dengan alasan belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Padahal, sepuluh izin dari instansi lain sudah selesai.
Bahkan, Departemen Penerangan kala itu juga turut melarang penayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai atau penggunaan bahasa Cina di layar Cina. Menurut Ishadi S.K., eks Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) yang berkembang saat itu adalah pemikiran dogmat satu arah.
"Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita," kata Ishadi.
Namun, aturan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi perkembangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina dihapus oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Ia kemudian menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Aturan itu menjadi penerang bagi warga keturunan Tionghoa yang sering mendapatkan sikap rasialis, diskriminatif, dan anti-Tionghoa.
Bahkan melalui Keppres 19/2002, kini Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Tips Aman Merayakan Imlek dari Satgas COVID-19
Perayaan Tahun Baru Imlek biasanya menjadi momen untuk berkumpul dan bersuka cita bersama keluarga besar. Perayaan hari besar keagamaan tahun baru Imlek juga merupakan sebuah momen penting khususnya bagi umat Khonghucu dan Tionghoa.
Satgas COVID-19 juga mengimbau agar masyarakat merayakan Imlek dengan cara yang berbeda dengan sebelum era pandemi. Tujuannya agar terhindar dari penularan COVID-19.