Cafe, Lifestyle & Aktualisasi Perempuan

Jumat 10-09-2021,18:36 WIB
Reporter : Nor Qomariyah (Penulis adalah

JEKTV.CO.ID - Belakangan ini begitu marak kita jumpai diberbagai tempat, mulai jalanan kecil kompleks perumahan hingga jalan koridor utama, kedai kopi dan café berjajar. Ada yang menawarkan outdoor dan indoor, live music bahkan berbagai jajanan pasar kuno hingga kekinian yang dipadupadankan dengan kreatifitas topping hits. Tidaklah sulit, jika kalian berkunjung ke salah satu sudut kota Jambi, dengan mudah kalian akan menjumpai puluhan kedai kopi maupun café yang menjamur.

Secara terminologis, kata café berasal dari bahasa Perancis-coffee, yang berarti kopi. Istilah ini muncul pada abad ke 18 di Inggris. Kopi pertama kali masuk ke Eropa pada tahun 1669 ketika utusan sultan Mohammed IV berkunjung ke Paris, Perancis, dengan membawa berkarung-karung biji misterius yang nantinya dikenal dengan nama coffee.

Ketika utusan Sultan meninggalkan Paris pada bulan Mei tahun berikutnya, kebiasaan menikmati kopi yang dikenalkannya pada kaum bangsawan Paris telah menjadi model baru yang kemudian di tahun 1672 seorang pengusaha muda asal Armenia, yang dikenal dengan nama Pascal menjualnya secara umum, pertama-tama di sebuah pameran besar di Saint Germant berlokasi di Quai de Evole, yang merupakan kota kecil.

Perjalanan café berikutnya adalah Jean de la Rogue yang berperan penting dala sejarah kopi di Perancis, ia menulis bahwa ketika tahun 1714 dengan penyebaran café di Eropa melalui jalur perdagangan, ke wilayah italia yang dikenal dengan sebutan Caffe yang hanya berbeda penulisan saja. Yang kemudian pada tahun 1839 muncul kata cafetaria dalam bahasa Amerika-English yang berasal dari bahasa Mexican Spanish untuk menyebutkan sebuah kedai kopi.

Di Indonesia, kata café kemudian disederhanakan kembali menjadi kafe. Pengertian harfiahnya mengacu pada (minuman) kopi, yang kemudian di Indonesia kafe lebih dikenal sebagai tempat menikmati kopi dengan berbagai jenis minuman non-alkohol lainnya seperti soft drink serta sajian makanan ringan lainnya.“Café is establishment providing food and refreshment for consumption and the premises to general public and a place where you can buy drinkand simple meals”

Secara umum trend konsumsi kopi meningkat drastis, seiring dengan perubahan gaya hidup di tengah masyarakat. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian konsumsi kopi nasional pada 2016 mencapai sekitar 250 ribu ton dan tumbuh 10,54% menjadi 276 ribu ton. Konsumsi kopi Indonesia sepanjang periode 2016-2021 diprediksi tumbuh rata-rata 8,22%/tahun. Pada 2021, pasokan kopi diprediksi mencapai 795 ribu ton dengan konsumsi 370 ribu ton, sehingga terjadi surplus 425 ribu ton. Hal ini turut mendorong pertumbuhan secara ekonomi dengan supply & demand atas coffee product.

Trend akan keinginan menikmati kopi juga berkembang di kalangan anak muda Jambi yang dulunya jarang menikmati kopi di café, kini berbondong-bondong nongkrong, bercengkerama, hingga berbagi cerita di café. Tak hanya yang berpenampilan western, yang bercadarpun sangat menikmati suasana café. Ayu misalnya, salah satu pengunjung café mengatakan, dia lebih senang menikmati kdan melakukan pekerjaan di café. Suasana, workspace yang disediakan cukup mendukung konsentrasinya mengerjakan pekerjaan rutin kantor. Dibandingkan suasana kantor yang monoton, sekalipun bisa sambil menikmati kopi, tetap saja itu tak membuatnya rileks dalam melakukan pekerjaan. Apalagi ditambah dengan berbagai cashback yang tersedia bagi pengunjung, imbuhnya.

Jambi, sebagai salah satu kota kecil yang terletak di Sumatra bagian tengah kini memiliki lebih dari 30 café yang dinilai instagrammable. Pengunjung yang dulunya identic laki-laki, kini hampir keseluruhan didominasi sebagian besar oleh perempuan dengan berbagai usia, bahkan tak jarang orang tua mengajak anak turut serta menikmati suasana café. Menariknya, para perempuan ini tak hanya soal kopi yang menjadi ketertarikannya, namun perubahan dalam persepsi soal aktualisasi diri dan tentu saja mereka lebih percaya diri dengan cara berinteraksi dan ber-komunitas ria di café.

Sejak munculnya industry café, perempuan memiliki peran yang signifikan. Menurut International Coffee Organization (ICO), kontribusi perempuan sejak tahun 2000 dalam industri kopi, menyumbang sekitar 20%-30%. Tak hanya sebagai pengunjung aktif dan responsive pasar, namun juga menjelma menjadi barista dan pemegang industrinya, termasuk owner café. Focks perempuan sebagai pengunjung sekaligus penikmat kopi di beberapa café di Jambi, perempuan-perempuan ini percaya bahwa, berjejaring dengan komunitas café mampu menjadikan dirinya lebih stylish, kekinian dan mengikuti trend sesuai dengan performa zaman.

Keinginan kuat dari perempuan untuk eksis ini muncul karena kekuatan untuk merealisasikan potensi dan mencapai aktualisasi diri sesuai dengan prinsip psikolog humanis Abraham Maslow. Dalam terminology simbolik George Herbert Mead menyebutkan fenomena ini muncul sebagai ‘interaksionisme simbolik’ dengan melibatkan struktur masyarakat dengan klasifikasi tertentu, mind dan self. Hal ini untuk membuktikan bahwa perempuan adalah bagian dari struktur sosial yang tentu membutuhkan self-branding sebagai sarana aktualisasi diri dan merespon trend sosial dengan perubahan konteks lingkungan.

Konteks kebutuhan inilah yang kemudian direspon oleh pasar, melalui karakter dan perubahan customer behavior melalui digital lifestyle yang suasananya dihidupkan melalui café. Prinsip “listening to the voice of customer” inilah yang kemudian digunakan oleh para penyedia café untuk mewadahi kebutuhan humanis sebagai perempuan, seperti bertemu komunitas dan nongkrong bareng, menghilangkan stress, sharing & networking, situasi baru, hingga mencari inspirasi. Tak jarang, perempuan menjadi lebih berani berekspresi melalui media café dan lebih memiliki self-confidence yang tinggi sebagai ‘perempuan merdeka dan mandiri’.

Pemilihan perempuan akan café yang nyaman bagi dirinya dan pribadinya juga bukan hal yang mudah, meskipun banyak referensi yang mereka baca. Hal ini menurut Vaske dan Kobrin (2001), muncul dari perspektif psikologis hubungan antara orang dengan tempat menunjukkan bahwa makna suatu tempat dibagi dalam dua indikator place attachment yaitu tempat ketergantungan (place dependence) dan identitas tempat (identity place). Sehingga kecenderungan pemilihan café dalam diri perempuan jika dianalisis dalam perspektif gender akan menjadi berbeda dan lebih spesifik.

Perempuan dalam place attachment dan identity place dalam perspektif gender pada konteks digital lifestyle, adalah; 1) Pemenuhan rasa psikologis dan fisik café, seperti suasana, fasilitas, ketersediaan pilihan menu yang ditawarkan dan ‘view’ yang menarik secara subyektif dari sisi kebutuhan, kenyamanan dan ‘rasa’ sebagai perempuan, 2) Tujuan & lifestyle, dengan memadukan rekreasi dan relaksasi, 3) Mendukung identitas diri dengan ingeraksi social yang lebih mendalam, 4) Differensiasi, menjadikan café tak hanya tempat untuk aktualisasi, tapi juga menjadikan suasana hati lebih ‘adem’ dengan suasana yang disajikan. Jika café mampu menyajikan kebutuhan ini, maka secara prinsip market, lifestyle dan pola aktualisasi perempuan akan menciptakan keterikatan mendalam, pemaknaan antara ruang dan hati customer.

Oleh karenanya, tak heran mengapa café begitu melekat erat dengan keberadaan perempuan, tak sebatas sebagai penikmat namun juga makna keterikatan emosional dan simbol interaksi sosial kemandirian dan kemerdekaan sebagai perempuan. Tak jarang, simbol ini muncul memenuhi ruang aktualisasi dan lebih mencerminkan diri sebagai ‘I’ (aku) dibandingkan ‘Me’ (saya) dimana menurut Herbert, perempuan menjadi dirinya sendiri saat menemukan ruang aktualisasinya. Jadi, tak perlu ragu karena dibalik rasa kopi nikmat dan café yang nyaman, ada identitas perempuan merdeka dan mandiri yang melekat.

 

Tags :
Kategori :

Terkait