Ikhtiar Bersama Dalam Menjaga Hutan Dan Melestarikan ‘Batobo’ Hutan Sumatera

Senin 09-08-2021,09:49 WIB
Reporter : Nor Qomariyah

JEKTV.CO.ID - Pagi itu begitu cerah. Matahari nan tinggi menyinari bumi dengan indahnya. Berbagai aroma bahan pangan yang dijual di pasar mingguan pinggiran sungai gambut Mendahara menyambut hari. Para ibu begitu sibuk, menyalakan tungku, menyetel mesin cuci, berbaur dengan deru ‘ketek’ yang lalu-lalang melintasi aliran sungai yang menghampar di 38.130 ha dan melewati 7 desa. Sebagai DAS Mendahara Ulu, dulu sungai ini dikenal dengan berbagai jenis ikan, air jernih sebagai sumber MCK hingga tahun 2000-an yang berubah menjadi berwarna merah kecoklatan bercampur dengan serabut sawit dan pinang didalamnya.

Pada 1970-an hampir 7 desa yang dilintasi sungai ini, seperti Desa Sungai Beras, Sinar Wajo, Kota Kandis Dendang, Pematang Rahim merupakan penghasil kopra terbesar di Asia yang merambah pasar internasional melalui Singapura. Sayang, usaha ini berhenti karena kualitas kopra yang terus menurun dan perubahan jalur transportasi ke darat. Sungai yang tadinya jernih itu, bersaing ketat dengan suara deru ketek yang saat ini masih menjadi transportasi pilihan masyarakat.

Pak Sur, begitu kami akrab menyapa merupakan salah satu penjaga hutan yang bis akita temui di desa ini. Sejak awal dia merupakan pioneer yang bersemangat dalam menjaga hutan desa gambut Pematang Rahim seluas 1.185 Ha dengan SK 5694/MEN LHK-PSKL/PSL.0/10/2017 dengan berbagai potensi yang tersebar didalamnya, seperti penyimpan cadangan karbon yang cukup besar. Berdasarkan survey yang telah dilakukan Warsi dan LPHD pada September 2018, potensi karbon di desa itu mencapai 76 ton/ha pada tegakan pohon dan areal gambutnya 1.824 ton/ha. Hutan des aini juga memiliki biodiversity yang menarik, dengan beragam flora dan fauna: kayu Medang, Kayu Terap, Kayu Kelulud, Rotan dengan berbagai jenis, Pakis Merah. Sedangkan fauna: Burung Elang Hitam, Gagak, Ikan Kepar dan lainnya. Uniknya adalah akses jalan yang mudah, meski terletak ditengah desa dan jalan raya perusahaan, namun hutan desa ini tetap utuh terjaga. Bahkan yang tak kalah penting adalah sebagai saksi sejarah, ditengah berbagai kasus kebakaran lahan dan hutan pada 2019, hutan desa gambut yang tetap utuh dan bebas titik api karena terjaga. Hingga kini, pak Sur masih tetap aktif menyuarakan, pentingnya hutan gambut bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan udara, penyeimbang alam, hingga pencegah Karhutla.

Sungai Beras, adalah desa berikutnya. Menyusuri tanaman sahang atau merica, sepanjang hutan des aini adalah karunia berharga. Sejak 2017, tanaman ini diupayakan sebagai pengkayaan tanaman bagi penjaga hutan di sini. Sebut saja pak Hamid, dengan telaten dan tak bosan serta senyum dan logat khas Jawa, tak bosan menjelaskan bagaimana fungsi sahang yang telah ia tanam bersama masyarakat sebnyak 3000 bibit didalam desa dan kini telah bisa ia panen sebagai tuai berkah.

Guguk, mungkin ada yang pernah mengenal desa ini. Melalui falsafah ‘ke air berbunga pasir, ke darat berbunga kayu’ adalah tanda kesuburan dan anugrah yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa. Saking suburnya, maka masyarakat desa ini dapat mengecap berbagai hasil bumi dan bahkan masih terdapat 167 jenis pohon dengan nilai ekonomis yang tinggi. Hutan adat seluas 690 ha ini dapat dikatakan hutan milik warga Guguk sejak dahulu kala, karena satu dokumen peta hutan yang diterbitkan oleh kesultan jambi pada tahun 1137 H, meyebutkan bahwa warga guguk telah diakui memiliki hutan ini. Bangga tentu saja, masyarakat sebagai pemilik utama Sumber Daya Alam yang ada di Guguk. Bahkan Guguk telah menjadi ikon pelestarian hutan berbasis masyarakat di Inonesia hingga Duta Besar Inggris pada Maret tahun 2011 secara khusus meninjau hutan adat ini dan memberikan apresiasi positif sebagai bentuk konsistensi dan komitmen masyarakat adat yang masih berdiri kokoh hingga kini menjaga hutannya.

Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo, sebutan hutan adat bagi masyarakat desa Rantau Kermas juga tak kalah penting. Sebagai penerima Kalpataru Nasional pada 11 Juni 2019, hutan adat ini telah menjelma menjadi pilihan destinasi wisata dengan menempuh track area 600 m dengan kemiringan 45m, tentu sangat mudah, apalagi dijamin, pengunjung hutan adat ini tak akan bosan melihat lebih dekat berbagai jenis pohon yang masih berdiri kokoh dan bahkan pohon Meranti yang pernah diasuh oleh berbagai kalangan seperti artist Dian Sastro, hingga Daniel Mananta dan Presiden RI Joko Widodo pernah mengasuh pohon di hutan adat ini sebagai bentuk apresiasi akan penjagaan kelestarian hutan yang telah memberikan penghidupan bagi masyarakat desa Rantau Kermas.

Pahlawan lainnya adalah Pak Sarno sebut saja begitu. Pria yang merantau di pulau Sumatra tepatnya Bengkulu Selatan Desa Air Tenam ini merupakan pioneer penjaga hutan berikutnya. Sejak 1993, pak Sarno begitu aktif memberikan tenaganya secara sukarela untuk berusaha memahami pentingnya hutan dan ekosistemnya. Tak hanya hutan, bagi pak sarno keberadaan tata hutan juga menjadi penyeimbang alam, apalagi masih dijumpai berbagai satwa hutan yang bisa didengar dari dekat saat pagi hari. Ungko, berbagai jenis burung, rusa hingga kambing hutan dapat dilihat dengan mudah di area ini. Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menjadi skema yang dipilih oleh masyarakat bersama Pak Sarno dalam menjaga area 608 ha dimana terdapat lebih dari 65 pohon asuh didalamnya. Tak hanya itu, hutan ini juga menyediakan berbagai tanaman obat hingga jernang yang bisa menjadi sumber penghidupan bagi 33% masyarakat dari 57 KK.

Hari Hutan Indonesia: Refleksi Ekologi-Manusia

Tanggal 07 Agustus 2021, menjadi momentum bersama sebagai hari hutan Indonesia. Gagasan ini muncul sebagai penguat refleksi disahkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 mengenai Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Hal ini mengingatkan kita betapa kayanya keanekaragaman hayati Indonesia, khususnya di pulau Sumatra.

Hari Hutan secara nasional merupakan bentuk kepedulian kita semua sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam, selayaknya hidup harmonis dan memberikan ruang bersama pada setiap jengkal langkah kaki kita. Ekosistem menjadi factor kunci, pentingnya alam untuk tetap dijaga mengingat semakin sempitnya tutupan hutan hingga mengakibatkan degradasi. Bahkan diperkirakan 170 juta hektar hutan diperkirakan akan hilang sepanjang 2010-2030 dengan rata-rata 5 juta ha/tahun, jika laju deforestasi tidak dihentikan (BBCNews, 2015).

Berdasarkan kajian pada jurnal pada 2013 oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagian besar pemicu kemunculan Emerging Infectious Diseases (EID) didominasi oleh zoonosis (60,3 persen), dengan mayoritas (71,8 persen) berasal dari satwa liar, termasuk Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), Severe Acute Respiratory virus (SARS), Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Ebola, dan Covid-19. Penyebabnya adalah deforestasi atau perusakan hutan. Terkait dengan Covid-19 yang disebabkan SARS-CoV-2 ini, satu jenis kelawar yang sudah disebutkan sebagai inang alaminya adalah Horseshoe bats atau Rhinolophus sp. yang diindikasikan bisa membawa SARS-CoV. Pemicu ekologis penyakit menular itu berkaitan dengan berkurangnya keragaman satwa liar, bertambahnya kepadatan populasi manusia, perubahan pemanfaatan hutan, dan perubahan industri pertanian. Ini semua menjadi catatan berharga bagi kita dimana harmonisasi antara hutan, satwa dan manusia, dimana hutan akan sangat berpengaruh terhadap populasi manusia. Ketersediaan hutan yang semakin terbatas menjadi pengingat bagi kita semua untuk turut berperan serta dengan berbagai upaya penyelamatan hutan.

Tentu layak kita refleksikan bersama dalam kerangka memperingati Hari Hutan Indonesia secara nasional. Berbagai pioneer sang penjaga hutan di atas, menjadi bukti masih banyak masyarakat yang peduli, berselaras dengan hutan tanpa melakukan pengrusakan. Mengambil, memanen secukupnya sesuai apa yang berlaku oleh adat dan kebutuhan sudah cukup. Anak cucu, menjadi pertimbangan berikutnya atas kekayaan alam yang berhak mereka nikmati sebagai pewarisnya. Di Hari Hutan Indonesia ini sebanyak 26 organisasi bergandeng tangan menyatukan diri dalam konsorsium Hari Hutan Indonesia, seperti Ayo Ke Taman, Bogor Ngariung, Change.org Indonesia, Coaction Indonesia, Earth Hour Indonesia, Forum Konservasi Leuser, Hutan Itu Indonesia, Indorelawan, Kemitraan, KKI Warsi, Lindungi Hutan, Pantau Gambut, Perkumpulan Bentara Papua, Perkumpulan Kaoem Telapak, Rimba Makmur Utama, Terasmitra, Thirst Project Indonesia/ Watery Nation, WeCare.id, World Cleanup Day Indonesia, World Resources Institute (WRI) Indonesia, Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Yayasan HAkA, Yayasan KEHATI, Yayasan Madani Berkelanjutan, Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, dan Zona Bening. Tujuannya tak lain adalah forest protection bagi rumah bersama Indonesia dan tentu menjaga hutan agar hutan menjaga Indonesia dari berbagai bencana ekologi.

Tradisi Batobo dalam Menjaga Hutan Sumatra

Istilah Batobo bagi Sebagian generasi millennials mungkin terasa asing. Namun bagi generasi ‘Y’ yang hidup di Sumatra di tahun 1980-an kata ‘batobo’ akan begitu mudah ditemui. Dahulu, musim batobo adalah musim yang sangat ditunggu, karena pada masa ini adalah masa yang tepat untuk menanam Padi lokal (seperti halnya padi tinggi dan padi Payo). Ini merupakan tanda alam subur, mengingat ada suara katak berkotek diberbagai hamparan persawahan di sekitar pemukiman masyarakat. Bahkan dengan mudah pada musim ini dijumpai berbagai jenis bentuk ‘lukah’ sebagai penangkap belut dan berbagai jenis ikan lain yang terdapat di area persawahan.
Batobo, sangat terkait erat dengan keberadaan hutan. Hutan menjadi penanda kapan musim tanam padi dimulai dengan cara bergotong royong, guyub bersama saling membantu, mulai dari menanam hingga panen secara bergiliran. Selain penanda musim, hutan bagi masyarakat Sumatra adalah tanda kesuburan karena berfungsi ekologi sebagai penyimpan air yang menjadi sumber utama kehidupan. Buah dari Batobo, bukan hanya tanda kehidupan namun juga persaudaraan erat yang terus terjaga, saling menjaga sumber penghidupan.

Batobo dalam keterkaitan hutan, juga menjaga keseimbangan ekosistem. Dahulu, sebut saja Mak Cha, menceritakan bagaimana masyarakat desa Rantau Kermas, betapa takutnya saat mulai ada kelelawar melintas di atas rumah penduduk. Itu artinya, kelelawar keluar dari habitatnya yakni hutan. Jika keluar maka kelelawar dipastikan oleh adat membawa virus, sehingga seluruh masyarakat diinstruksikan masuk ke rumah masing-masing mengamankan diri. Menurutnya, sekarang jangankan kelelawar, kontak antara manusia dengan satwa sudah sering terjadi akibat ekosistem yang rusak dan mulai tergerusnya budaya batobo di Sumatra. Bagi Mak Cha, batobo mengajarkan pembagian ruang hidup antara alam, manusia dan satwa. Hutan menjadi penting keberadaannya untuk manusia dan juga untuk satwa, mengambil secukupnya, memanfaatkan sesuai petunjuk adat dalam batobo adalah pedoman yang tak akan pernah lekang selama ia ada.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler