Selasa 06 July 2021
Oleh : Dahlan Iskan
BELIAU begitu loyal kepada Pak Harto. Setiap memberi keterangan pers selalu didahului dengan kata-kata 'sesuai dengan petunjuk bapak presiden'.
Itulah 'predikat' yang melekat pada Pak Harmoko: 'menteri petunjuk'. Hebat sekali. Presiden Soeharto begitu percaya pada beliau: menjadi menteri penerangan 14 tahun, menjadi Ketua Umum Golkar, menjadi Ketua DPR/MPR.
Padahal beliau itu sipil. Bukan pula sarjana apalagi profesor –seperti umumnya menteri saat itu. Beliau wartawan yang kemudian menjadi pengusaha pers.
Wartawan itu sulit diatur. Beliau, ternyata, juga orang yang begitu tegar melengserkan Pak Harto.
Memang, demo mahasiswanya yang luar biasa: menduduki gedung DPR/MPR. Sampai bermalam di situ. Mereka menuntut Pak Harto mundur. Ekonomi negara memburuk.
Memang, aparat keamanan yang juga 'hebat': membiarkan demo mahasiswa itu menduduki DPR/MPR. Bagaimana bisa para jenderal yang begitu loyal membiarkan gedung DPR diduduki.
Tapi semua itu menjadi lebih berarti karena Ketua DPR/MPR H. Harmoko, bikin pernyataan resmi: atas nama rakyat minta Pak Harto mundur.
Waktu itu secara legal DPR/MPR adalah lembaga yang sah mewakili rakyat. Dan Pak Harto selalu menghargai legalitas formal itu. Keesokan harinya, Pak Harto meletakkan jabatan.
Sabtu kemarin Pak Harmoko meninggal dunia. Karena sakit lamanya. Di usia 82 tahun.
Seharusnya saya melayat. Saya termasuk sangat dekat dengan beliau. Sesama wartawan. Sesama pengusaha pers. Sesama Golkar. Mudahan beliau memaafkan saya yang tidak bisa melayat.
Minggu ini begitu banyak teman dekat saya meninggal. Sedih sekali. Begitu banyak juga yang masuk rumah sakit. Seorang pengusaha sangat besar juga lagi di ICU. Kabar gembiranya: Azrul Ananda, anak saya, sudah negatif. Tepat di hari ulang tahunnya, 4 Juli kemarin.
Tentu begitu banyak kenangan saya dengan Pak Harmoko. Berkat hubungan baik saya dengan beliau Jawa Pos bisa selamat. Dan berkembang pesat. Banyak pelanggaran yang saya lakukan beliau biarkan: jumlah halaman melanggar, jumlah iklan melanggar, larangan cetak jarak jauh saya langgar. Diam-diam. Semua itu saya selesaikan dengan hubungan baik.
Saat itu menyelamatkan koran sangatlah penting. Mati-hidup koran di tangan menteri penerangan. Wartawan sulit diatur. Sesekali pasti memuat berita yang sensitif. Jawa Pos beberapa kali tergelincir. Saya harus berusaha agar bisa selamat.