Kamis 20 May 2021
Oleh : Dahlan Iskan
KAPAL- Kapal pesiar yang mewah itu terlihat lagi antre di pinggir laut. Untuk dihancurkan. Dijadikan besi tua.
Orang seperti saya bisa menitikkan air liur. Atau air mata. Kapal yang begitu mahal dan indah harus dihancurkan.
Tapi itulah bisnis. Perhitungan untung-rugi lebih dipentingkan.
Memang sayang sekali. Tapi pengusaha tidak boleh terlalu terbawa perasaan romantisme. Atau emosional.
Para pemilik kapal itu harus lebih tergiur oleh hitungan bisnis daripada emosi.
Pertama, kapal itu bisa saja tetap dioperasikan. Yakni mengangkut turis kelas atas ke mana saja. Tapi turis lagi lenyap dari muka bumi. Ditelan Covid. Kapal menganggur berbulan-bulan. Bahkan sudah lebih satu tahun.
Bunga pinjaman jalan terus. Biaya perawatan, sandar, dan awak kapal tidak bisa dihentikan. Sedang pendapatannya nol besar. Rugi besar. Terus-menerus.
Kedua, lebih baik kapal itu dijual. Hanya saja, di masa seperti ini, tidak ada orang yang mau beli kapal pesiar.
Ups... yang mau membeli kapal ternyata ada. Bukan untuk dijalankan. Tapi untuk dihancurkan. Dijadikan besi tua. Besinya dijual ke pabrik baja.
Setelah dihitung dengan kepala yang dingin ternyata itu lebih menguntungkan.
Dan ternyata itu tidak hanya terjadi di kapal pesiar. Teman saya, di Indonesia, juga baru saja menjual kapal. Harga jualnya bagus sekali. Panjang kapalnya 200 meter. Cukup besar.
Enam bulan lalu ada pembeli kapal yang berminat. Untuk dipergunakan mengangkut hasil tambang. Penawarannya pun cukup baik: Rp 30 miliar.
Hampir saja teman saya itu melepaskannya. Tapi ia harus memperbaiki dulu kapalnya. Buatan Jepang. Tahun 2000. Baru berumur 20 tahun.