Salah satu yang akan selalu saya ingat adalah: sulitnya menemukan barang bukti dalam perkara pemerkosaan. Waktu itu. Maka Karni mendorong –lewat tulisan-tulisannya– agar vagina bisa diakui sebagai ''barang''. Dan Karni sukses dalam ''menciptakan'' hukum di bidang pemerkosaan.
Karni juga dikenal sebagai wartawan yang gigih mendorong lahirnya regulasi tentang PK (Peninjauan Kembali). Yang kita kenal sampai sekarang.
Itu karena Karni gigih membongkar terjadinya kesalahan putusan final Mahkamah Agung terhadap Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta adalah petani berasal dari Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Mereka menerima vonis pengadilan negeri Bekasi dengan hukuman 12 tahun (Sengkon) dan 7 tahun (Karta) atas dakwaan pembunuhan dan perampokan. Yang sampai ke Mahkamah Agung pun tetap dinyatakan bersalah. Dimasukkan penjara. Setelah bertahun-tahun di penjara baru ketahuan bukan Sengkon dan Karta pelakunya.
Karni Ilyas juga wartawan yang anti penghitaman foto pelaku kriminal. Bukan saja merusak fotografi tapi juga tidak ada gunanya.
Memang hukum mengenal doktrin ''praduga tak bersalah'' tapi menerapkannya tidak harus dengan menghitamkan bagian mata di foto itu.
Karni terus menegakkan prinsip itu. Dan menyuarakannya. Belakangan kita tidak melihat lagi ada foto di surat kabar atau majalah yang sebagian wajahnya ditutup warna hitam.
Tentu Karni juga anti penulisan singkatan untuk seorang tersangka. Menurut Karni, nama tersangka itu harus disebut selengkapnya. Yang penting jangan menghukum bahwa mereka pasti salah. Kalau ditulis singkatannya justru bisa menimbulkan fitnah. Kasihan orang yang sekantor atau sekampung dengan singkatan nama yang sama.
Saya tentu mendukung prinsip seperti itu. Bahkan saya mendoktrinkan prinsip perlunya wartawan punya keyakinan. Mengapa hanya hakim yang bisa memutuskan berdasarkan keyakinan –di samping berdasar barang bukti dan keterangan saksi. Wartawan juga harus terlatih untuk memiliki keyakinan mengenai sebuah kejadian. Keyakinan itu akan menjadi bagian dari idealisme jurnalistik.
Misalnya seseorang yang tertangkap basah. Atau terang-benderang dalam melakukan kejahatan. Untuk apa lagi nama masih harus disingkat. Dan fotonya masih harus dihitamkan.
Di mata saya, Karni Ilyas adalah alumni TEMPO yang paling eksis sekarang ini. Memang masih ada nama seperti Leila Chudhori, si penulis buku terkenal itu. Yang salah satu bukunya berjudul ''Pulang''. Sebuah cerita tentang penderitaan menjadi orang yang dituduh PKI –Partai Komunis Indonesia.
Juga ada Saur Hutabarat. Yang kini menjadi pengendali media di grup politisi-konglomerat Surya Paloh. Masih ada Putu Wijaya, sastrawan dan tokoh teater. Juga Ratna Riantiarno, tokoh teater juga. Atau Bambang Harimurti, yang pernah lolos seleksi menjadi astronot. Yang menantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana itu.
Tapi Karni-lah yang saya anggap paling eksis.
Ia eksis di media tulis. Ia juga pernah membantu saya membenahi manajemen Jawa Pos selama beberapa bulan.
Sebagai wartawan ia begitu sukses mengungkap kasus korupsi di Pertamina. Di zaman sepeninggal Ibnu Sutowo.
Lalu ia eksis lagi di dunia televisi. Begitu banyak penghargaan diberikan padanya di bidang penyiaran TV. Sejak ia masih di Liputan 6 SCTV, pun sampai belakangan, ketika ia berada di TV One.