Yang paling tahu keadaan perusahaan adalah staf atau mantan staf di situ. Dan yang paling kritis adalah mereka yang pernah disingkirkan oleh direksi. Atau setidaknya, mereka yang karirnya merasa dihambat –''merasa'' dihambat, bukan ''memang'' dihambat.
Maka kedudukannya sebagai komite komisaris akan ia pakai untuk ''balas dendam'' kepada direksi –menggunakan tangan komisaris.
Masih banyak komisaris jenis lainnya lagi.
Lalu, jenis yang mana yang ideal?
Maka perlu ditanya dulu: benarkah komisaris lebih tinggi dari direksi?
Dari segi gaji: tidak.
Dari segi tantiem: tidak.
Dari segi kekuasaan: tidak.
Kenapa ada komisaris yang sewot ketika direksi datang langsung ke kementerian BUMN? Kenapa komisaris merasa dilangkahi?
Sang komisaris tidak salah: komisaris juga manusia –punya perasaan. Ada yang perasaannya tebal, ada pula yang tipis. Pun ada yang perasaannya sedang-sedang saja.
Direksi juga tidak salah: direksi itu diangkat oleh pemegang saham. Bukan diangkat oleh komisaris. Komisaris dan direksi sama-sama diangkat oleh pemegang saham.
Kalau ada komisaris yang sewot melihat direksi langsung ke kementerian BUMN penyebabnya dua kemungkinan: 1. Direksinya lagi tidak rukun dengan komisaris. 2. Komisarisnya lagi tidak rukun dengan kementerian.
Penyelesaiannya bisa lewat banyak kemungkinan. Misalnya komisaris memberhentikan direksi. Kenapa harus takut dengan kementerian. Itu hak komisaris.
Kelak kementerian, sebagai pemegang saham (mewakili menteri keuangan), memutuskan. Apakah pemberhentian itu tepat. Atau ternyata tidak tepat. Kalau tepat, ya sudah, diberhentikan secara permanen. Kalau tidak tepat harus diangkat lagi.
Kelak komisaris itu, kalau belum diganti, bisa memberhentikan lagi sementara lagi.
Tapi saya tidak menyarankan itu. Itu hanya membuat perusahaan keruh. Perusahaan itu seperti rumah tangga: perlu suasana damai. Bukan hanya damai, tapi damai yang panjang.