Rabu 28 October 2020
Oleh : Dahlan Iskan
PENYAKIT ini disebut ''Trauma 2016''.
Penyakit itulah yang sekarang melanda pendukung Partai Demokrat Amerika Serikat. Waktu itu jelas, semua survei mengunggulkan Hillary Clinton. Dan itu benar. Hillary pun menang. Perolehan suaranyi 6 juta lebih banyak dari Donald Trump. Tapi nyatanya Trump-lah yang jadi presiden.
Itulah trauma terbesar sekarang ini di sana. Apalagi satu-satunya lembaga survei yang dulu mengunggulkan Trump kali ini juga masih sama. (Disway: Survei Tekanan Sosial).
Mengapa seperti itu?
Dulu itu, kata mantan Presiden Barack Obama, Demokrat terlalu merasa di atas angin. Akhirnya banyak orang yang tidak mau ke TPS. Perasaan mereka: kan sudah pasti menang.
"Kali ini tidak boleh begitu. Jangan lagi. Kali ini saja," ujar Obama yang akhir minggu lalu ikut kampanye mendukung Joe Biden —yang dulu menjabat wakil presidennya itu.
Gara-gara kemalasan dulu itu, katanya, kita akhirnya punya presiden yang tiap hari bikin bingung.
"Bagaimana seorang presiden Amerika Serikat tiap hari me-retweet teori konspirasi," ujar Obama. Kok bisa. Seorang presiden lho. Presiden Amerika lho.
Ketika menggambarkan itu Obama begitu atraktifnya. Mimik sewotnya bikin geregetan. Melihat pidatonya itu saya sampai tertawa seorang diri.
Obama tidak habis pikir. Kok ada presiden seperti itu. Ibaratnya, kalau di Indonesia, kata saya, seorang doktor bisa percaya ada orang mampu menggandakan uang.
Kampanye itu sendiri dilakukan secara drive in. Yakni di satu tanah lapang di Pennsylvania, tempat kelahiran Biden. Yang hadir tetap di dalam mobil masing-masing. Kalau ada bagian pidato yang menarik mereka membunyikan klakson.
Cara itu dilakukan karena ada pandemi Covid-19.
Itu yang membedakan dengan kampanye Trump yang konvensional.
Trump mengejek kampanye Biden sepi. Tidak ada yang tertarik datang.