Kenalan via Video Call, 4 Hari Kemudian, Oh, Terjadilah

Minggu 20-09-2020,09:52 WIB
Editor : Ra

NTB — Dua anak madrasah di Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat, Suhaimi dan Nur Herawati telah menjadi pasangan suami istri. Kisah cinta itu terjadi di Dusun Montong Praje Timuq Desa Pengenjek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah.

Desa yang bertetangga dengan Desa Bonjeruk. Suhaimi lahir 1 Januari 2005. Dia bersekolah di salah satu madrasah di Desa Beber. Sedangkan, Nur Herawati lahir pada 8 Agustus 2008, sekolah di salah satu madrasah di Desa Bonjeruk.

Perkenalan keduanya cukup singkat. Berawal dari telepon genggam temannya, Suhaimi kenalan dengan Nur Herawati. “Itu lewat video call,” cerita Nur kepada wartawan Lombok Post.

Keduanya pun saling tukar nomor telepon. Komunikasi keduanya berlanjut hingga memutuskan bertemu.

Keduanya sepakat bertemu di depan Puskesmas Bonjeruk atau dekat pasar, beberapa hari lalu. Pertemuan pertama itu ternyata berlanjut setelah Suhaimi mengutarakan isi hati ingin berpacaran. Tanpa berpikir panjang, Nur menerima. Keduanya pun menjadi pasangan kekasih.

“Kami pacaran hanya empat hari saja. Setelah itu, menikah,” ujar Nur, sembari menundukkan kepala dan tersenyum simpul malu. Pernikahan digelar Sabtu (12/9) di musala dekat rumah Suhaimi.

Pernikahan itu berawal saat keduanya bertemu kembali di salah satu objek wisata di Desa Pringgarata. Mereka janjian bertemu pukul 16.00 WITA.

Saking asyiknya berpacaran, mereka lupa waktu. Tidak terasa sudah larut malam. Suhaimi pun mengantarkan kekasihnya pulang ke rumah. Orang tua Nur menolak. Suhaimi kemudian meminta bantuan keluarga, tetapi lagi-lagi ditolak.

“Alasannya, daripada keluar malam terus dan pacaran terus, lebih baik dinikahkan saja,” kata Kepala Dusun (Kadus) Montong Praje Timuq Ehsan, di sela-sela Lombok Post berbincang dengan Suhaimi dan Nur.

Nur sendiri merupakan anak tunggal dari pasangan Sutomo dan Sahmin. Nur tinggal dengan kakek dan neneknya di Desa Bonjeruk. Itu karena, kedua orang tuanya bercerai. Sedangkan, Suhaimi anak kelima dari lima bersaudara.

Ibunya Rahimin dan bapaknya meninggal dunia, sejak Suhaimi duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Sejak itulah, keduanya kurang mendapatkan perhatian lengkap dan lebih, dari kedua orangnya masing-masing. Sehingga mereka memutuskan ingin berkeluarga, punya anak dan ingin hidup mandiri. Tidak mau bergantung lagi dengan orang tua.

Suhaimi sudah belajar mandiri. Dia bekerja sebagai pedagang di beberapa pasar tradisional di Gumi Tatas Tuhu Trasna. Dia menjual sandal, sabun, dan perlengkapan rumah tangga.

Pekerjaan itu digelutinya sejak bapaknya dan tiga kakaknya meninggal dunia. Suhaimi menjadi tulang punggung keluarga. Kini, dia tinggal bersama ibunya di Dusun Montong Praje Timuq Desa, Pengenjek, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Rumah berlantai semen, beratapkan genting dan dinding yang terkelupas, menjadi saksi perjalanan hidupnya.

Suhaimi ingin membuktikan bahwa keputusannya menikah dini menjadi pilihan yang tepat. Dengan menikah dini itu, dia berharap bisa makin semangat bekerja. Dengan menikah, dia berharap bisa menghindari dosa. Uang kebutuhan pernikahan diperoleh dari kantongnya sendiri. Tidak sampai menyusahkan orang tua, keluarga atau kerabat terdekat lainnya.

“Maharnya uang Rp 2 juta, tanpa seperangkat alat salat,” cerita Suhaimi.

Sedangkan uang untuk keluarga mempelai perempuan diberikan sebesar Rp 6 juta. Itu diluar uang untuk syukuran. Karena pandemi Covid-19, dia memutuskan tidak ada acara resepsi, cukup dengan akad nikah saja. Sementara itu Nur Herawati mengaku akan setia untuk suami tercinta. Dia tidak ingin meniru kedua orang tuanya, yang bercerai. Dia ingin keluarganya tetap utuh.

Sementara itu, Rahimin, ibu dari Suhaimi berdoa, semoga kedua anaknya tersebut sakinah, mawadah dan warahmah, punya keturunan yang berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tags :
Kategori :

Terkait