Tolong benar-benar dipahami dan dipisahkan, komentar mencibir itu kritikan yang logis atau sekadar bentuk ungkapan kecemburuan sosial.
Dan harus ditegaskan, harga-harganya sudah mahal salah satunya karena pajak. Kemudian, semakin melambung karena illogical buying. Bukan karena harga aslinya.
Ya, tulisan ini saya akui ada partisannya. Karena saya sudah delapan tahun ini koleksi sepeda aneh-aneh. Kebetulan, saya memang tidak beli mobil aneh-aneh. Teman-teman saya beli mobil mewah, sementara saya menganggap mobil sebagai sarana transportasi saja, jadi tidak perlu aneh-aneh.
Teman saya suka koleksi jam mewah. Saya tak pakai jam.
Kebetulan, saya olahraganya gowes. Semenjak lutut kanan saya hancur karena main sepak bola, sehingga sudah tidak bisa lagi lari dan olahraga lain yang ada larinya.
Jadi, anggaran hobi saya lari ke sepeda. Saya tidak akan munafik. Ya, saya punya sepeda yang harganya aneh-aneh. Tapi saya rasa saya masih masuk tahap logis. Sepeda yang saya beli memang benar-benar harus ada "cerita" dan nilai khusus yang membuatnya layak dikoleksi.
Misalnya, pembuatnya seniman beneran, dan karyanya seperti lukisan. Nilai sepeda saya kemudian naik banyak, karena pembuatnya di Italia meninggal dua tahun lalu.
Atau, sepeda yang dibuat secara terbatas, berkolaborasi dengan tim Formula 1, dan mendapatkannya memang harus ada "perjuangannya."
Kadang, saya membeli secara impulsif. Tapi rasanya saya tidak sampai ke ranah illogical buying. Apalagi, pengalaman beli dan salah beli itu kemudian saya terapkan ke dunia usaha, ketika saya dan rekan saya John Boemihardjo membuat merek sepeda Wdnsdy. Supaya orang bisa merasakan sepeda yang high end, tanpa membayar merek high end.
Buat merek lain jangan khawatir, saya masih koleksi semua merek kok. Wkwkwk...
Dan sebagai penegasan: Semua sepeda yang saya punya pasti pernah saya hajar di jalan atau tanjakan. Bukan sekadar dipajang. Sebagai seorang cyclist saya harus menegaskan itu. Saya cyclist. Bukan cyclist-cyclist-an. Saya berusaha gowes 400 km seminggu. Minimal 300 km seminggu. Saya berusaha gowes 20 ribu km setahun. Beberapa tahun lalu pernah mencapai 26 ribu km setahun. Kalau tidak percaya silakan tanya banyak orang, atau lihat akun Strava saya. Wkwkwk...
Nah, kembali ke sepeda yang harganya hampir Rp 500 juta di awal tulisan ini. Benarkah harganya segitu? Dengan mudah dan lantang saya bisa menjawabnya: Tidak!
Entah yang beli itu bohong, atau dibohongi, atau tidak peduli harga, harga sepeda itu tidak sampai segitu.
Kebetulan saya punya teman di Jakarta yang punya sepeda serupa. Seorang kolektor senior, tapi juga cyclist beneran, bukan cyclist-cyclist-an. Dia bilang, sepeda itu memang edisi khusus. Dia membelinya seharga Rp 280 juta.
Dia menegaskan, rasanya berlebihan kalau harganya melambung hingga hampir Rp 500 juta. Dia ikut tertawa mendengarnya. "Pernah sih ada toko yang menjualnya Rp 375 juta. Mungkin yang beli itu menjualnya lagi jadi Rp 500 juta. Ha ha ha..." tuturnya.
Kata dia, daripada beli semahal itu, mending beli langsung saja di Inggris. Harganya tidak jauh dari harga pas dia beli dulu. Malah justru lebih murah kalau beli tiket ke Inggris, beli di sana, membawanya pulang. Termasuk dengan biaya pajak yang harus dibayar pun yang tinggi itu, harga totalnya tetap lebih murah daripada Rp 489 juta.