JEKTVNEWS.COM - Kelompok masyarakat sipil menilai rencana pemerintah menjadikan proyek Dimethyl Ether (DME) atau gasifikasi batubara dengan pembiayaan lewat Badan Pengelola Investasi Danantara, merupakan langkah sesat.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menilai langkah pemerintah yang tidak populis ini hanya bertujuan melanggengkan industri batubara, di mana salah satu target utama eksploitasi adalah di Pulau Sumatera.
Konsolidator STuEB Ali Akbar mengatakan Danantara sebagai superholding seharusnya berfungsi menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang dengan investasi yang menyasar pada pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan. Ia mengambil contoh Temasek yang menyasar pada teknologi dan informasi yang pada masa depan akan terus dimanfaatkan dan terus bertumbuh.
Sementara dengungan tentang wilayah investasi Danantara adalah hilirasasi pengelolaan sumber daya alam seperti batubara yang pada satu sisi akan habis dan pada sisi lain sudah dimusuhi secara global.
Ali mengatakan hal itu menanggapi langkah pemerintah mempercepat 21 proyek hilirarisasi, 4 diantaranya adalah proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) senilai Rp180 triliun. Pendanaan proyek ini akan berasal dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Empat proyek DME ini diperkirakan berlokasi di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
“Investasi yang bertumpu pada sumber daya alam yang terbatas seperti batubara dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan. Ketika dunia internasional sudah mundur dari investasi energi kotor justru Indonesia lewat Danantara melakukannya,” kata Ali.
Apalagi, menurutnya dana yang terhimpun untuk Danantara juga berasal dari efisiensi berbagai program yang seharusnya dapat dinikmati langsung oleh rakyat, mulai dări sektor pendidikan, kesehatan hingga pengentasan kemiskinan.
Di sisi lain, STuEB juga mengingatkan pemerintah tentang dampak sosial, lingkungan, ekonomi dan kesehatan yang harus ditanggung rakyat dari eksploitasi batubara, mulai dări sektor hulu di wilayah penambangan hingga ke hilir di proyek Pembangkit LIstrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 8 provinsi lokasi proyek PLTU batubara di Sumatera, rakyat menderita dan menangung kerugian akibat dampak lingkungan yang merusak mata pencaharian dan kesehatan.
Ketua Yayasan Anak Padi Lahat Sumatera Selatan, Syahwan mengatakan proyek PLTU batubara yang dioperasikan PT Primanaya Energi membuat air sungai berubah warna jadi hitam kecoklatan membuat Warga Desa Kebur dan Muara Maung tak lagi mendapat ikan di sungai itu.
“Jika DME dijadikan bahan pengganti gas untuk kebutuhan rumah tangga yang bahan utamanya adalah batu bara, maka warga di sekitar pertambangan akan semakin sengsara, sebab batubara akan diekspolitasi akan lebih besar lagi. Mąka kami meminta Presiden Prabowo untuk menghentikan rencana ini,” kata Sahwan.
Direktur Hutan Kita Institut (HaKI) Sumatera Selatan Deddy Permana menambahkan produk energi fosil terutama batubara akan memperburuk krisis iklim karena emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan.
Ia menilai tujuan pendanaan Danantara untuk industri batubara hanya untuk menjaga agar industri ini terus berlanjut. Ditambah lagi dengan tindakan pemerintah yang memberikan konsesi tambang batubara kepada organisasi massa yang bukan bidangnya.
BACA JUGA:Toyota di Jambi Luncurkan New Agya Stylix, Berikut Difitur Unggulannya
“Ini semua bukan untuk kepentingan umum masyarakat Indonesia dan pemerintah tidak berkomitmen secara internasional untuk pencegahan perubahan iklim serta bertolakbelakang dengan komitmen terhadap transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060,” kata Deddy.