jektv.co.id - Pandemi virus Korona baru atau Covid-19 dan upaua mencegahan penyebarannya diketahui telah menghabiskan anggaran global sekitar USD 3,8 triliun atau berkisar Rp 55,9 kuadriliun. Riset terbaru juga menyebutkan akibat pandemi Covid-19 ini sebanyak 147 juta orang telah kehilangan pekerjaannya, terbanyak di sektor bisnis dan industri yang mengalami perlambatan.
Dalam penelitian pertama yang berupaya mengukur dampak pandemi, para peneliti dari University of Sydney menciptakan model ekonomi global yang terperinci. Sektor yang paling terpukul adalah industri transportasi. Banyak rute penerbangan harus dibatalkan karena negara-negara menutup perbatasan mereka untuk pengunjung terutama di kawasan Asia, Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Faktanya, hilangnya konektivitas global ini ‘memicu penularan ekonomi’, yang menyebabkan gangguan besar pada sektor perdagangan, pariwisata, energi, dan keuangan berdasarkan penelitian tersebut.
Dilansir dari DailyMail, Kamis (16/07), kerugian global yang sudah dirasakan kemungkinan akan meningkat ketika langkah-langkah penguncian berlanjut, tetapi mengangkatnya terlalu cepat dapat ‘mengarah pada dampak ekonomi yang lebih parah dan berkepanjangan’.
Satu-satunya sisi positif dari pandemi ini yang bisa dirasakan hanyalah dalam hal perubahan lingkungan. Pandemi Covid-19 diketahui menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca di sepanjang sejarah manusia.
Guncangan bagi para pekerja juga dirasakan di seluruh dunia. Dalam penelitian ini, dilaporkan bahwa ada lebih dari 147 juta orang di seluruh dunia telah dibuat menganggur dan kehilangan pekerjaannya akibat dari pandemi Covid-19 ini.
Angka tersebut diperkirakan menghasilkan pemotongan pendapatan upah dari gaji USD 2,1 triliun atau setara dengan Rp 30,3 kuadriliun atau enam persen dari semua pendapatan upah global. Dari total kehilangan pendapatan ini, USD 536 miliar atau setara dengan Rp 7,7 kuadriliun atau sekitar 21 persen hilang karena pengurangan perdagangan internasional.
Guncangan pasar tenaga kerja yang signifikan ini bahkan dikatakan akan terus tumbuh seiring pandemi berlanjut, menurut tim peneliti. “Selain itu, guncangan ekonomi selanjutnya kemungkinan akan berdampak lebih jauh pada kuantitas dan kualitas pekerjaan, serta mempengaruhi kelompok-kelompok rentan, seperti pekerja migran dan tidak terampil yang mungkin tidak beradaptasi dengan pengaturan pekerjaan virtual,” catat para peneliti.
Ini juga kemungkinan memperluas kesenjangan kekayaan dan pendapatan global yang sudah ada dan berpotensi memusnahkan sistem perawatan kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah.
Pada bulan April, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan wabah virus korona ini lebih dari sekadar krisis kesehatan. “Kita semua sadar akan konsekuensi sosial dan ekonomi yang mendalam dari pandemi ini,” katanya saat itu.
Konsekuensi ekonomi yang diuraikan dalam studi baru ini adalah hasil dari langkah-langkah lanjutan seperti penguncian dan penurunan global dalam konsumsi dan produksi. Langkah-langkah ini kemudian diperkuat dengan dampak berjenjang sebagai akibat globalisasi melalui rantai pasokan internasional yang bergantung pada perbatasan terbuka.
“Prinsip-prinsip inti yang mendasari strategi mitigasi dan penvegahan yang diadopsi untuk mengendalikan pandemi, menjauhkan individu dan karantina masyarakat, bekerja secara langsung melawan kekuatan ekonomi global,” ungkap para peneliti.
Kemudian, dikatakan juga bahwa pemerintah di seluruh dunia kini dihadapkan pada tantangan dalam upaya menjaga ekonomi global tetap bertahan dengan membelanjakan dana perang Dana Moneter Internasional dan dana darurat lainnya, sambil berusaha menemukan cara-cara baru untuk bekerja.
Sementara seperti sudah disinggung di atas, tak seperti kondisi ekonomi, tim melihat dampak positif yang dramatis ada pada lingkungan dengan emisi gas rumah kaca yang melihat penurunan terbesar dalam sejarah manusia. Dikatakan emisi rumah kaca di seluruh dunia turun sekitar 2,5 gigaton atau sekitar 4,6 persen dari normal.
Emisi atmosfer lain seperti partikel berbahaya PM2.5 turun sekitar 3,8 persen, dan sulfur dioksida turun 2,9 persen. Emisi belerang dioksida terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang dikaitkan dengan asma dan sesak dada.