Jakarta - Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2020 jauh di bawah perkiraan pemerintah, yakni 2,97 persen dari proyeksi 4,6 persen. Kondisinya bisa lebih buruk jika pandemi Covid-19 tak kunjung teratasi.
Saat rapat dengan Komisi XI DPR kemarin (6/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, konsumsi mengalami penurunan yang signifikan. Karena itu, pemerintah akan mengantisipasi penurunan yang lebih dalam sebagai dampak dari perluasan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). “Pembatasan sosial baru mulai berlaku Maret minggu kedua. Kita bayangkan April dan Mei ini PSBB dilakukan meluas. Maka, konsumsi pasti akan drop jauh lebih besar,” ungkapnya.
Padahal, konsumsi masyarakat memiliki kontribusi yang amat besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Porsinya mencapai 57 persen. Selain itu, kata Ani, sapaan Sri Mulyani, konsumsi masyarakat di Jakarta dan Jawa berkontribusi hingga 50–55 persen terhadap total konsumsi di Indonesia. “Artinya, kalau sekarang Jakarta dan Jawa yang sudah PSBB, pasti konsumsi tidak akan tumbuh,” tandasnya.
Dengan kondisi pandemi yang masih berlanjut pada triwulan II dan III, Ani memproyeksikan perekonomian Indonesia dalam skenario sangat berat, yakni minus 0,4 persen. “Sehingga kemungkinan masuk skenario sangat berat mungkin terjadi, dari 2,3 persen menjadi minus 0,4 persen,” katanya.
Pemerintah, lanjut mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu, terus berupaya bisa menjaga konsumsi masyarakat melalui akselerasi bantuan sosial (bansos). Meski, dia mengakui, besaran nilai bansos yang diberikan pemerintah tidak serta-merta mampu mengembalikan pertumbuhan konsumsi yang hilang. Namun, setidaknya pemberian bansos tersebut bisa mengurangi beban masyarakat yang terdampak PHK.
“Social safety net, bansos kan meluas. Pemerintah meng-cover minimal tiga bulan, bahkan ada yang sampai enam bulan dan sembilan bulan hingga Desember. Ini kita harap cukup memberi bantalan sosial. Tidak berarti bisa substitusi angka konsumsi Rp 5.000 triliun yang di Jawa dan Jabodetabek tadi. Namun bisa mengurangi (beban) mereka yang terdampak PHK dan kehilangan pekerjaan,” paparnya.
Sementara itu, dalam sidang kabinet paripurna kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih menghibur diri atas anjloknya pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut. Menurut dia, meski hanya tumbuh 2,97 persen, capaian itu relatif baik ketimbang negara lain.
Dengan Tiongkok misalnya. Pertumbuhan ekonomi negara tersebut di kuartal I 2020 –6,8 persen setelah pada periode yang sama tahun lalu tumbuh 6 persen. “Artinya, ini year-on-year deltanya (penurunan) 12,8 persen,” urai Jokowi.
Di Indonesia, Covid-19 memukul perekonomian dari sisi permintaan sekaligus penawaran. Indeks manufaktur Indonesia, misalnya, berada di level 27,5. Lebih rendah daripada Korea Selatan yang indeksnya 41,6 atau negara-negara di ASEAN seperti Malaysia (31,3), Vietnam (32,7), dan Filipina (31,6).
Presiden meminta tim ekonomi memperhatikan betul angka-angka yang ada secara mendetail. Mana saja sektor dan subsektor yang mengalami kontraksi paling dalam. “Dilihat secara detail dan dicarikan stimulusnya,” kata Jokowi.
Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memprediksi puncak persebaran Covid-19 akan terjadi pada April, Mei, hingga pertengahan Juni 2020. Selama periode tersebut, PSBB akan berlangsung di 70 persen wilayah tanah air. “Maka dari itu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Q2 tahun 2020 sebesar 0,4 persen,” kata Perry kemarin.