Jakarta – Presiden Joko Widodo telah menunjuk Didik Supriyanto menjadi Anggota DKPP melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 30/P Tahun 2020 yang ditandatangani pada 12 Maret lalu. Didik menggantikan Harjono yang telah menjabat sebagai Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada Desember 2019.
Anggota DKPP Didik Supriyanto mengingatkan potensi pelanggaran etik penyelenggara pemilu pada masa jeda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 akibat wabah COVID-19. “Potensi pelanggaran masa jeda, yang saya bayangkan pada situasi yang tidak banyak pekerjaan itu kadang-kadang kreativitas dan keberanian muncul. Terus terang saya paling khawatir itu soal anggaran,” kata Didik di Jakarta, Rabu (1/4).
Sebagian anggaran dana hibah daerah untuk penyelenggaraan pilkada sudah dicairkan sebelum wabah COVID-19 melanda Indonesia. Ia mengatakan penyelenggaraan pilkada akhirnya terhenti karena wabah makin meluas. “‘Kan anggaran sebagian sudah turun dan ditransfer, kemudian beberapa tahapan yang masih berjalan tiba-tiba berhenti. Kompleksitas mengelola anggaran itu harus mengembalikan berapa, harus sampai di mana. Itu yang saya kira bisa membuka ruang untuk terjadinya pelanggaran kode etik,” jelasnya.
Sementara itu, Didik menilai baru hanya itu potensi pelanggaran yang akan terjadi selama masa jeda pilkada. Ia belum melihat potensi lain akan terjadi pada masa tersebut. “Karena kegiatan pencalonan praktis berhenti, saya belum melihat akan banyak masalah di sana, mungkin belum akan ada muncul masalah terkait dengan (pencalonan dan tahapan pilkada) itu,” terangnya.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang baru saja menjalankan masa tugasnya itu melanjutkan, dirinya tidak ingin lembaga yang ditempatinya itu menjadi momok bagi penyelenggara pemilu lain. Secara umum undang-undang telah mengatur bahwa tugas penanganan perkara DKPP bersifat pasif.
Kemudian, DKPP tidak punya intensi harus menyelidiki perkara kepemiluan secara aktif yang tidak menjadi aduan dari para pengadu. “Saya tidak mau DKPP ini menjadi momoknya penyelenggara pemilu yang lain, biasanya kalau momok ya seperti itu, maju sedikit biar kelihatan gagah dan galak, itu kan celaka,” ucapnya.
Tindakan melebihi kewenangan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan menurut dia malah bisa membuat celaka banyak orang, dan itu harus dihindari. “Orang yang tidak berbuat jahat dianggap dan dinilai berbuat jahat sehingga dikasih hukuman yang setimpal dengan dugaan kejahatan. Itu kan merusak masa depan orang. Tidak boleh seperti itu,” urai Didik.
Berkaca dari pengalamannya di Dewan Pers, sidang etik seharusnya tidak berat dan bisa dilakukan lebih santai jika dibandingkan dengan persidangan lembaga peradilan lain. “Sejauh yang saya rasakan di tempat lain, saya dulu aktif di Dewan Pers, proses persidangan di dewan etik tidak berat-berat amat. Banyak diskusi, lontaran adu bukti bisa dimanajemen dengan santai. Berbeda dengan lembaga peradilan yang terjebak formalisme,” tukasnya.
Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, bakal calon yang melakukan upaya pencitraan diri dengan membantu sosialisasi, penyemprotan disinfektan atau tindakan serupa lainnya hanya karena pencitraan diri hendaknya dihentikan. “Karena situasinya tahapan sudah berhenti, tidak mungkin kita melarang atas dasar tahapan. Yang bisa kita harapkan adalah calon tidak melakukan politisasi dalam makna yang luas,” jelas Afif.
Dengan penundaan tahapan pilkada oleh KPU, tugas-tugas pengawasan untuk pesta demokrasi itu juga ikut jeda. Sehingga tidak bisa melakukan penindakan jika ada dugaan pelanggaran yang dilakukan calon. Karena itu, Bawaslu hanya bisa mengimbau bakal calon untuk saat ini mementingkan sikap moral dengan tidak memanfaatkan hal-hal kemanusiaan sebagai kesempatan atau peluang politis. (khf/fin/rh)