Jika kebijakan mempermudah pembantaran yang dipilih, katanya, maka perlu ada payung hukum berupa peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres) untuk memberikan kewenangan kepada instansi terkait dalam mengeluarkan persetujuan pembantaran.
“Peraturannya harus minimal setingkat PP atau perpres. Tidak bisa hanya berupa peraturan menteri. PP dan perpres itu memungkinkan instansi terkait untuk membuat kebijakan guna mempermudah pembantaran untuk mengurangi kapasitas di rutan,” jelasnya.
Untuk pengurangan atau pembebasan narapidana untuk mengurangi over kapasitas di lapas, lanjut dia, bisa dilakukan melalui grasi dan amnesti dari Presiden terhadap narapidana.
“Pengurangan hukuman itu tentu tidak bisa diberikan kepada narapidana kelas kakap,” tegasnya.
Menurut dia, saat ini tidak memungkinkan upaya mengatasi kelebihan kapasitas dilakukan dengan memindahkan tahanan maupun narapidana karena memang belum ada lapas baru yang bisa dihuni narapidana.
“Saat ini rata-rata lapas dan rutan di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas yang seakan sulit terpecahkan. Kapasitas di lapas atau rutan sulit dikurangi karena memang belum ada pembangunan lapas baru. Kelebihan kapasitas ini mengkhawatirkan di tengah pandemi corona yang sekarang terjadi,” jelasnya.(gw/fin)