AKARTA – Jumlah orang terinfeksi COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Hingga Sabtu (21/3), angkanya mencapai 450 kasus. Dari jumlah itu, kasus terbanyak berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta yakni 268 kasus. Sebanyak 25 orang diantaranya meninggal dunia. Kemudian, Jawa Barat 55, Banten 43, Jawa Timur 26 dan Jawa Tengah 14. Kasus meninggal dunia mencapai 38 orang.
Ada juga warga dengan hasil tes negatif, namun tetap harus mematuhi imbauan pemerintah. Salah satunya menjaga jarak dengan orang lain dan menghindari kerumunan massa. Tes yang dimaksud merujuk pada metode tes cepat alias rapid test.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menegaskan mereka dengan hasil tes negatif tetap melakukan pembatasan dalam berinteraksi sosial. Data Kementerian Kesehatan dan data global menunjukkan kelompok usia muda memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan yang berusia lanjut.
“Namun, harus dipastikan bahwa bukan berarti kelompok usia muda ini tidak bisa terkena. Bisa terkena dan tanpa gejala. Inilah yang menjadi salah satu faktor cepatnya penyebaran. Karena kita terkena tanpa gejala dan kemudian tidak melakukan isolasi diri,” tegas Yurianto di gedung BNPB Jakarta, Sabtu (21/3).
Menurutnya, situasi tersebut menjadi tantangan. Karena sebaran dapat menjadi semakin cepat. Khususnya pada orang-orang di sekitar yang usianya lebih tua. Meskipun warga yang telah melakukan tes COVID-19 berusia muda dan kuat, mereka tetap berpotensi menjadi salah satu sumber penyebaran di dalam keluarga. “Hasil negatif tidak memberikan garansi tidak terinfeksi COVID- 19. Menjaga jaga jarak, menghindari kerumunan orang menjadi pilihan pertama,” paparnya.
Individu yang telah melakukan tes cepat dan hasilnya negatif, belum tentu aman dari Corona. Kondisi tersebut terjadi karena respons serologi dan respons imunitas belum muncul. “Ini sering terjadi pada infeksi yang masih berada di bawah 7 hari. Hasilnya pasti akan negatif. Karena itu, ini akan diulang lagi dengan pemeriksaan yang sama. Kita menginginkan siapa pun meskipun di dalam pemeriksaan negatif, tidak kemudian merasa dirinya sehat. Tetap melaksanakan pembatasan. Mengatur cara dalam konteks berkomunikasi secara sosial,” paparnya.
Pemeriksaan cepat telah dilaksanakan sejak Jumat (20/3) sore di beberapa tempat di Jakarta Selatan. Pemeriksaan cepat akan dilakukan secara luas di Indonesia. Terutama pada kelompok berisiko. Pemeriksaan cepat akan diikuti dengan pelacakan kasus positif. Keluarga yang teridentifikasi positif akan dirawat di rumah sakit maupun di rumah.
Pelacakan juga dilakukan di tempat kerja keluarga tersebut. Mereka yang mengidap COVID -19 belum tentu dirawat di rumah sakit. Tetapi bisa juga menerapkan isolasi perorangan di rumah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menghindari penyebaran baru. Warga yang dirawat di rumah dapat dirujuk ke rumah sakit apabila merasakan keluhan berlebih.
Gugus Tugas, lanjutnya, telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk menyiapkan rumah sakit. Saat ini, rumah sakit pemerintah, BUMN dan swasta bersiap untuk mengantisipasi lonjakan pasien Covid-19. Selain itu, beberapa bangunan seperti hotel dari sektor swasta dan wisma atlet telah dipersiapkan sebagai ruang isolasi penanganan pasien positif.
Sementara itu, pemerintah telah mendatangkan obat untuk upaya penyembuhan pasien Corona. Salah satunya berupa kloroquin. Obat tersebut berdasarkan bukti praktek medis di negara lain memberikan respons positif. Yurianto menegaskan obat tersebut bukan sebagai langkah pencegahan. “Tidak perlu masyarakat kemudian menyimpan Kloroquin, membeli Kloroquin dan menyimpannya. Ingat Kloroquin adalah obat keras yang hanya bisa dibeli dengan menggunakan resep dokter,” ucapnya.
Anggota DPR RI Mulyadi menilai virus Corona yang merebak akhir-akhir ini berdampak terhadap seluruh aspek. Ia meminta pemerintah bergerak cepat dalam mengatasi penyebaran COVID-19 ini. Jika pemerintah lambat merespon, jumlah masyarakat yang terdampak virus akan semakin meningkat. Hal ini dapat mengganggu perekonomian Indonesia. “Korban akibat COVID-19 terus bertambah. Bahkan rasio meninggalnya korban sangat besar. Selain itu, nilai tukar rupiah terus melemah, bursa saham terus merosot, hingga harga kebutuhan yang terus meningkat,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal itu, Mulyadi meminta pemerintah bersinergi dengan DPR RI dalam membuat kebijakan khusus. Tidak hanya mengatasi penyebaran virus Corona saja, tetapi juga dampak-dampak buruk yang muncul di kemudian hari. “Saatnya pemerintah duduk bersama dengan DPR RI untuk mengatasi situasi ini. Terutama dalam membuat legitimasi dan persetujuan anggaran yang perlu dikonsentrasikan untuk mengatasi Corona,” kata politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Terkait permasalahan anggaran, Anggota Badan Anggaran (Bangar) DPR RI ini mengusulkan agar alokasi anggaran infrastruktur dan sektor lainnya yang tidak prioritas bisa direalokasikan untuk penanganan COVID -19 beserta dampaknya. “Pemerintah harus bergerak cepat dengan mendukung anggaran yang maksimal. Pihak eksekutif juga harus segera memperbaiki koordinasi dan mencari solusi untuk keluar dari masalah ini, terutama kesiapan SDM dan peralatan kesahatan,” paparnya. (khf/fin/rh)